SELAYANG PANDANG TENTANG PENANGANAN
PERKARA PRODEO PADA PENGADILAN AGAMA
Oleh :
MUCHAMMAD JUSUF
Panitera / Sekretaris Pengadilan Tinggi Agama Pontianak
PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 pasal 60 B dan 60 C mengatur hak setiap orang yang tersangkut perkara untuk memperoleh bantuan hukum dan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu serta pembentukan pos bantuan hukum pada setiap Pengadilan Agama bagi pencari keadilan yang tidak mampu.
Sejalan dengan itu Pemerintah telah terlebih dahulu membuat Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang persyaratan dan tatacara pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma.
Selanjutnya Mahkamah Agung RI pun mengeluarkan SEMA Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, yang untuk lingkungan Peradilan Agama diikuti oleh Keputusan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama dan Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor : 04/TUADA-AG/II/2011 dan Nomor : 020/SEK/SK/II/2011, tentang Petunjuk pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 10 Tahun2010, tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran B
Apabila dalam tulisan ini hanya tertulis Pengadilan Agama itu artinya sudah termasuk Mahkamah Syar’iyah.
Pelayanan Bantuan hukum yang dilaksanakan oleh antara lain adalah Pengadilan Agama bersesuaian dengan kebijakan pemerintah tentang arah pembangunan yang semakin menegaskan pentingnya akses ke Pengadilan Agama bagi masyarakat miskin. Pelayanan bantuan hukum di peradilan agama/mahkamah syar’iyah telah memberi ruang kepada pencari keadilan yang kurang mampu berperkara di pengadilan agama untuk beracara secara Cuma-Cuma/prodeo.
TENTANG PELAYANAN BANTUAN HUKUM
Dalam SEMA No. 10 Tahun 2010 ini, Pelayanan bantuan sesuai lampiran B pada petunjuk pelaksanaannya untuk lingkungan Peradilan Agama adalah :
1. Pos Bantuan Hukum
2. Sidang Keliling
3. Prodeo (berperkara secara Cuma-Cuma)
Khusus untuk perkara yang diajukan secara Cuma-Cuma/prodeo, baik yang tersebut dalam SEMA NO 10 Tahun 2010 yang dijabarkan dalam petunjuk pelaksanaannya maupun prodeo murni yang tersebut dalam HIR dan RBg, telah membuka peluang atau yang paling tepat memberikan layanan secara three in one ( 3 in 1) kepada pencari keadilan yang tidak mampu/miskin, secara finansial dapat dilayani melalui :
1. Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) ini artinya cukup dengan menunjukan/membawa ; Surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah/Banjar/Nagari/Gampong ; atau Surat keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT) lihat pasal 20 huruf (a) dan (b) mengenai syarat-syarat memperoleh jasa dari pos bantuan hukum Lampiran B SEMA No 10 Tahun 2010.
2. Sidang Keliling, apabila gugatan/permohonan perkara prodeo tersebut telah didaftar oleh petugas dan telah ditentukan Majelis Hakimnya, maka untuk sidang insidentil atas perkara tersebut, Majelis Hakim dapat membuka persidangan langsung ditempat Pos Sidang Keliling, apabila Tempat kediaman Para pihak berperkara dekat dengan tempat diadakannya sidang keliling dan didalam relaas panggilan oleh jurusita pengganti tentu sudah disebutkan tempat perkara tersebut disidangkan (pasal 15 ayat 3. Lampiran B SEMA No 10 Tahun 2010).
3. Prodeo (berperkara secara Cuma-Cuma), yang dimaksud dengan berperkara secara Cuma-Cuma adalah apabila setelah melalui proses persidangan secara insidentil oleh Majelis Hakim terbukti bahwa pihak yang mengajukan permohonan prodeo tersebut dikabulkan untuk berperkara secara prodeo (Cuma-Cuma), jadi meskipun perkara tersebut didaftarkan oleh petugas register sebagai perkara prodeo bukan berarti perkara tersebut sudah bisa dilaksanakan dengan cara-cara prodeo tentu harus melalui proses persidangan dulu dengan putusan sela yang amarnya berbunyi “ Biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada negara” dan amar putusan akhir pada perkara permohonan secara prodeo ini akan berbunyi “ Biaya yang timbul dalam perkara ini sejumlah RP……. Dibebankan kepada negara” (pasal 2 ayat 18 petunjuk pelaksanaan SEMA No 10 Tahun 2010).
Untuk bunyi amar sebagaimana tersebut diatas apabila permohonan prodeo yang biaya perkara dibebankan kepada Negara, sedangkan apabila permohonan prodeo sebagaimana tersebut dalam pasal 237-242 HIR/pasal 273-278 RBg bunyi amarnya didalam putusan sela akan berbeda, yang jelas harus ada kata-kata didalam amarnya “membebaskan penggugat/pemohon dari biaya perkara”.
Secara administrasi, maka penanganan perkara prodeo dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara yaitu :
1. Prodeo sebagaimana tersebut dalam HIR/RBg
2. Prodeo sebagaimana tersebut dalam SEMA No 10 Tahun 2010 yang dijabarkan dalam Keputusan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama dan Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor : 04/TUADA-AG/II/2011 dan Nomor : 020/SEK/SK/II/2011.
TATA CARA PEMBIAYAAN
Dalam petunjuk pelaksanaan SEMA No. 10 Tahun 2010 ini, penulis hanya akan membahas tentang perkara prodeo karena dari segi administrasi penulis menemui beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dan kemungkinan akan menjadi kendala bagi para petugas di Pengadilan Agama antara lain :
Pada pasal 7 ayat (1) Petunjuk Pelaksanaan Lampiran B, SEMA No 10 Tahun 2010 disebutkan “ biaya perkara prodeo dibebankan kepada negara melalui DIPA Pengadilan Agama”. Hal ini menandakan bahwa disetiap satuan kerja pada Pengadilan Agama telah tersedia dana bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu secara finansial dan apabila dana bantuan hukum tersebut telah habis dalam DIPA satker tersebut, maka perkara yang diajukan oleh pihak yang tidak mampu secara finansial tetap diterima dan didaftar sebagai perkara prodeo meskipun dana yang tersedia didalam DIPA Pengadilan Agama yang bersangkutan telah habis.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa ada prodeo murni dan ada prodeo yang dibebankan kepada negara melalui DIPA satuan kerja pada Pengadilan masing-masing ( penulis sebut prodeo DIPA) dan khusus prodeo DIPA ini sebagaimana tersebut dalam pasal 1 ayat (7) Petunjuk pelaksanaan Lampiran B SEMA No 10 Tahun 2010 “Prodeo adalah proses berperkara di pengadilan secara Cuma-Cuma dengan dibiayai negara melalui DIPA pengadilan”.
Apabila permohonan berperkara secara prodeo dikabulkan, Panitera Pengganti menyerahkan salinan amar putusan sela kepada Kuasa Pengguna Anggaran untuk dibuat Surat Keputusan oleh Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen yang menyatakan bahwa biaya perkara dibebankan kepada DIPA pengadilan.
Berdasarkan surat keputusan KPA/PPK tersebut, Bendahara Pengeluaran menyerahkan bantuan biaya perkara kepada kasir (tanpa melalui bank) sebesar yang telah ditentukan dalam POK (Petunjuk Operasional Kegiatan) DIPA tahun berkenaan dengan bukti kwitansi.
Apabila bantuan biaya perkara telah habis sementara perkara masih berproses, maka kasir melapor kepada Kuasa Pengguna Anggaran dan berdasarkan laporan tersebut, KPA/PPK membuat surat keterangan bahwa bantuan biaya proses telah habis. Oleh Ketua Pengadilan Agama selanjutnya membuat surat perintah kepada Panitera bahwa proses perkara dilaksanakan secara prodeo murni (tanpa biaya).
Yang menjadi persoalan didalam juklak SEMA No 10 Tahun 2010, pada pasal 2 point (15), pasal 3 point (24) dan pasal 4 point (16) disebutkan bahwa “Jika terdapat sisa anggaran perkara prodeo, kasir mengembalikan sisa anggaran tersebut kepada KPA (bendahara pengeluaran) untuk selanjutnya dikembalikan ke kas negara”.
Terhadap pengembalian sisa anggaran perkara prodeo DIPA ini, ada perbedaan pendapat ; ada yang menyatakan disetor ke kas negara sebagai pengembalian sisa belanja dengan menggunakan form SSPB pada MAP dengan akun 815111 atau sejenisnya, dan ada yang menyatakan disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak dengan menggunakan form SSBP pada MAP dengan akun 423419 penerimaan peradilan dan kejaksaan sebagai pengembalian sisa perkara, atau yang sejenisnya.
Dalam pasal-pasal tersebut diatas tidak disebutkan pengembalian ke kas negara tersebut menggunakan akun apa, dengan form SSPB atau SSBP ?. dan ini mungkin perlu penjelasan oleh yang berkompeten untuk itu.
Kalau kita melihat tatacara pemberian bantuan biaya perkara prodeo, jelas ini diperuntukan kepada pihak pemohon prodeo dan hanya digunakan untuk biaya proses pada komponen biaya perkara prodeo ; pasal 7 point (2) lampiran B juklak SEMA No 10 Tahun 2010. Hal ini berarti uang itu sudah diberikan kepada pihak pemohon prodeo yang diserahkan dari bendahara pengeluaran kepada kasir dengan bukti bahwa pihak pemohon prodeo akan menerima lembar pertama dari SKUM yang dibuat oleh kasir.
Jadi pemberian bantuan biaya perkara prodeo ini jelas kepada pemohon prodeo adalah sebagai pihak ketiga yang menerima pembiayaan dari negara dalam hal ini DIPA Pengadilan untuk membiayai perkara yang diajukan olehnya, meskipun bantuan biaya perkara tersebut tidak diterima secara langsung oleh pemohon prodeo.
(Sesuai dengan Juklak SEMA No 10 Tahun 2010).Apabila ada sisa setelah jurnal perkara ditutup oleh kasir, maka sisa biaya perkara prodeo tersebut harus dikembalikan sebagai pengembalian sisa panjar oleh kasir kepada bendahara pengeluaran.
Menurut hemat penulis bahwa uang yang diterima dari pihak ketiga entah darimana cara perolehannya apabila akan disetor ke kas negara, maka harus disetor melalui mekanisme PNBP dengan Mata Anggaran Penerimaan (MAP) dan akun yang telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008 tentang PNBP dan disetor ke kas negara oleh Bendahara Penerimaan.
KOMPONEN BIAYA PERKARA
Komponen biaya perkara dipengadilan terdiri dari :
1. Biaya kepaniteraan atau Hak-Hak Kepaniteraan (HHK) dan Hak-Hak Kepaniteraan lainnya (PP Nomor 53 Tahun 2008, tentang PNBP). Antara lain :
a. Pendaftaran.
b. Redaksi.
2. Biaya proses.
Untuk perkara secara Cuma-Cuma/prodeo (Prodeo DIPA), maka komponen biaya perkara hanya biaya proses saja sedangkan biaya kepaniteraan (HHK) tidak dipungut dan untuk prodeo murni (prodeo HIR/RBg) tidak dikenakan biaya perkara.
KOMPONEN BIAYA PERKARA PRODEO
Komponen biaya perkara prodeo yang dibebankan kepada negara melalui DIPA Pengadilan Agama meliputi :
a. Biaya pemanggilan para pihak
b. Biaya pemberitahuan isi putusan
c. Biaya sita jaminan
d. Biaya pemeriksaan setempat
e. Biaya saksi/saksi ahli
f. Biaya eksekusi
g. Biaya materai
h. Biaya Alat Tulis Kantor
i. Biaya penggandaan/photocopy
j. Biaya pemberkasan dan penjilidan berkas perkara yang diminutasi
k. Biaya pengiriman berkas.
(catatan : pada petunjuk pelaksanaan SEMA Nomor : 10 Tahun 2010), terjadi perbedaan bunyi pasal yakni pada BAB II pasal 2 point (10) berbunyi “ kasir membuat SKUM dan membukukan bantuan biaya perkara tersebut di dalam buku jurnal dan mengeluarkannya sesuai perintah Ketua Majelis selama proses perkara berlangsung dengan mengalokasikan terlebih dahulu biaya materai “. Sedangkan dalam Lampiran B SEMA Nomor 10 Tahun 2010 tersebut pada BAB IV pasal 8 point (5) berbunyi “ Kasir harus terlebih dahulu menyisihkan biaya redaksi dan materai dari alokasi biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (4)”.
Disini terlihat jelas ada perbedaan bunyi konteks didalam juklak tersebut dan ini akan membingungkan petugas, sehingga perlu penjelasan lebih lanjut.
Menurut hemat penulis oleh karena komponen pembiayaan perkara permohonan prodeo hanya menggunakan komponen pada biaya proses, maka Redaksi tidak perlu dipungut sebab redaksi termasuk dalam komponen Hak-Hak Kepaniteraan dan bukan biaya proses.
TATACARA PEMBUKUAN PERKARA PRODEO
Dalam hal permohonan prodeo diterima, maka kasir terlebih dahulu mencatat dalam SKUM tambahan biaya dengan cap lunas dan mencatat dalam jurnal perkara besarnya biaya yang diserahkan oleh bendahara pengeluaran berdasarkan surat penetapan KPA/PPK. Sedangkan besarnya biaya perkara prodeo yang diberikan sebesar yang telah ditentukan dalam POK (Petunjuk Operasional Kegiatan) DIPA tahun berkenaan dengan bukti kwitansi.
Adapun Tatacara pembukuannya/pencatatan yang dikeluarkan untuk perkara permohonan secara prodeo baik yang dibebankan melalui DIPA ataupun prodeo murni harus dicatat melalui Jurnal perkara dan buku induk keuangan perkara.
Sedangkan untuk prodeo murni cukup komponen-komponennya saja yang dicatat dengan nilai nominal ditulis Rp 0,00 dalam jurnal dan buku induk keuangan perkara. Hal ini berlaku juga apabila prodeo diajukan pada tingkat banding. Sedangkan apabila prodeo diajukan pada tingkat kasasi dan permohonan peninjauan kembali maka tatacara pembukuannya agak berbeda, namun tetap dicatat dalam buku jurnal perkara kasasi/PK dan buku induk keuangan perkara dengan nilai nominal Rp 0,00 dan untuk biaya yang telah dikeluarkan dari DIPA dicatat dalam buku khusus (pasal 4 ayat 6 petunjuk pelaksanaan SEMA No 10 Tahun 2010 dan apabila Pengadilan Agama telah menerima salinan putusan kasasi dan amar putusan kasasi tersebut telah diberitahukan kepada para pihak, maka buku jurnal keuangan kasasi (KI-PA.3) ditutup dengan biaya Rp 0,00 (nihil); pasal 4 ayat 17 petunjuk pelaksanaan SEMA No 10 Tahun 2010.
TENTANG PENETAPAN HARI SIDANG DAN RELAAS PANGGILAN INSIDENTIL
Apabila perkara diajukan dengan permohonan prodeo, maka yang bersangkutan harus diperiksa terlebih dahulu apakah benar-benar miskin ?. dan untuk membuktikan miskin tidaknya pihak pemohon, maka Hakim/majelis akan membuka sidang insidentil terlebih dahulu, yang menjadi persoalan apakah para pihak dipanggil dengan menggunakan relaas panggilan dengan form untuk panggilan pertama atau relaas panggilan khusus insidentil.
Kalau kita melihat Penetapan Hari Sidang (form PHS) yang digunakan oleh Ketua Majelis adalah PHS untuk menetapkan hari sidang biasa bukan untuk sidang insidentil, begitu pula relaas panggilan yang digunakan oleh jurusita pada saat memanggil pihak pada sidang insidentil, oleh jurusita menggunakan form relaas panggilan untuk sidang pertama terutama relaas panggilan kepada tergugat/termohon yang didalam konsiderannya berbunyi “ Selanjutnya saya telah meninggalkan dan menyerahkan sehelai surat panggilan beserta surat gugatan penggugat yang oleh tergugat dapat dijawab baik secara lisan maupun tertulis olehnya atau kuasanya yang sah di depan persidangan “.
Pada saat penulis berkunjung ke Pengadilan Agama yang penulis dapati semuanya menggunakan relaas panggilan pertama pada perkara biasa padahal relaas ini untuk memeriksa pokok perkara dan menurut hemat penulis sebaiknya relaas panggilan insidentil formnya harus berbeda dengan form panggilan pertama, sebab sidang insidentil pada permohonan berperkara secara Cuma-Cuma/prodeo belum memeriksa pokok perkara. (pada bagian ini penulis hanya mencoba berurun rembuk dengan melihat permasalahan yang ada karena ini merupakan ranah hakim dalam pembahasan-pembahasan tehnis justisial).
Demikian semoga tulisan ini bermanfaat.
Pontianak 5 oktober 2011
MUCHAMMAD JUSUF
Email : mathe.suva@gmail.com