Kamis, 15 September 2011

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN HUKUM JINAYAT DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Oleh: Hakim Agung Drs. H. Hamdan. SH, MH A. PENDAHULUAN Menurut Aristoteles, manusia merupakan zoon politicon (makhluk sosial). Hal ini tidak dapat dipungkiri dari kenyataan yang ada, di mana manusia selalu berinteraksi antara yang satu dan yang lainnya. Di samping sebagai makhluk sosial manusia juga merupakan makhluk Tuhan yang dianugerahi nafsu atau kehendak yang mendorong manusia untuk bertindak. Nafsu inilah yang dapat menjadi sebuah bencana apabila tidak dikendalikan. Oleh karena itu ada benarnya apa yang dikatakan oleh Hobbes “hommo homini lupus bellum contra omnes” yang artinya bahwa manusia ibarat serigala yang ganas dan saling memangsa satu dan yang lainnya. Untuk mengatur tata kehidupan manusia yang dapat berpotensi menjadi kacau dan tak beraturan itu, maka dibutuhkan suatu instrumen yang disebut hukum. Dengan hukum ini manusia dipaksa untuk menghormati hak-hak orang lain serta mempunyai kewajiban untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang aman dan tertib (rust end orde), selain itu hukum juga diharapkan dapat mengakomodasi kemungkinankemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang melalui pembentukan instrumen hukum baik berupa peraturan perundang-undangan maupun kelembagaannya. Di dalam aliran pragmatic legal realism yang dipelopori oleh Roscou Pond hukum dianggap sebagai a tools social of engeneering (alat rekayasa sosial). Oleh karena itu suatu keniscayaan kiranya di dalam masyarakat ada hukum (ubi societes ibi ius). Indonesia sebagai negara hukum dengan wilayah yang luas dan berpenduduk besar telah membagi wilayah atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi “Negara Kesatuan Makalah Rakernas 2011 | 3 Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kebupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Ayat tersebut tidak mengurangi makna otonomi daerah yang dijamin dalam Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (7) dan Pasal 18A serta Pasal 18B UUD 1945. Bahkan pengaturan yang memberikan otonomi khusus kepada Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan kepada Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua mencerminkan bahwa di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap dimungkinkan adanya pola-pola pengaturan yang bersifat pluralis seperti Aceh dan Papua. Aceh adalah salah satu daerah dalam wilayah Republik Indonesia yang memiliki keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Legitimasi ini diberikan oleh pemerintah pusat untuk memenuhi harapan masyarakat Aceh yang menginginkan daerah ini berlaku hukum syariat sebagaimana dahulu kala di masa kesultanan Aceh. Akhirnya pemerintah pusat menyetujui dengan membuat UU No 44 Tahun 1999 yang antara lain mengatur tentang syariat Islam di Aceh. Selain undang-undang ini masih ada beberapa undang-undang yang lain tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh, termasuk yang terakhir sekali disahkan yaitu UU No 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Dalam undang-undang tersebut tentang syariat Islam disebut di banyak tempat, masuk ke dalam berbagai bidang dan lebih lengkap dari apa yang telah ada sebelumnya. Sejak diresmikan Mahkamah Syar’iyah pada tahun 2003 sampai saat ini dengan kewenangan memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal al-syakhshiyyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas Syariat Islam, selain secara rutin menyelesaikan semua perkara yang diajukan kepada Mahkamah di tingkat Kabupaten/Kota maupun di tingkat Provinsi secara internal Mahkamah Syar’iyah sedang melengkapi aparat dan sarana, dan secara external Mahkamah Syar’iyah sedang giat melakukan koordinasi dan komunikasi untuk lancar dan suksesnya peran, tugas Makalah Rakernas 2011 | 4 pokok dan fungsinya selaku pelaksana kekuasaan kehakiman di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bersamaan dengan pelaksanaan tugas-tugas pokok Mahkamah Syar’iyah, tidak sedikit faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan atau penegakan hukum terutama menyangkut hukum jinayat. B. PENGERTIAN HUKUM JINAYAT Hukum Jinayat adalah salah satu dari uslub dalam pembahasan fiqh, uraian tentang jinayat posisinya diurutan terakhir setelah ibadah, muamalah dan munakahah. Pembahasan masalah jinayat diurutan yang terakhir mempunyai philosofy tersendiri sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai literatur fiqh. Pholosofy tersebut ialah bahwasanya bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan tubuh dan syahwatnya, maka dalam kondisi ini biasanya mereka cenderung melakukan perbuatan jinayat. Adapun yang dimaksud dengan Jinayat adalah suatu tindak kejahatan, pengrusakan maupun penghilangan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, selain itu jinayat juga sering disebut dengan jarimah. Jinayat juga diistilahkan untuk denda atau hukuman bagi para pelaku kejahatan. Bagi setiap pelaku kejahatan mereka pasti akan mendapatkan ganjaran atas perbuatannya yang tidak lurus baik di dunia maupun di akhirat. Pemberian denda di dunia tersebut secara khusus juga disebut sebagai jinayat atau pun jarimah. Pelarangan tindakan jinayat dipahami dari dalil yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits Nabi SAW, selanjutnya juga dalil-dalil syar’iy lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Quran Surat Al-An’am ayat 151 yang berbunyi: Artinya: Jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak…. (Al-An’am: 151) Makalah Rakernas 2011 | 5 Dalam ayat di atas Allah Swt dengan jelas mengatakan bahwa sama sekali tidak boleh membunuh suatu jiwa yang diharamkannya, yaitu orang yang mukmin kecuali dengan cara yang hak, artinya dengan alasan tertentu sehingga ia boleh dibunuh, seperti karena orang mukmin tersebut telah membunuh sesama mukmin, telah melakukan zina muhsan dan lain-lain. Selain ayat di atas juga masih banyak lagi ayatayat Al-Quran yang menjelaskan tentang larangan melakukan tindakan jinayat (pidana). Tindakan pidana ataupun jinayat bukan hanya membunuh saja, akan tetapi juga mencakup kejahatan-kejahatan yang lain seperti pemukulan, penghilangan anggota badan, merusak kehormatan, tuduhan, perkosaan, perzinahan dan lain sebagainya yang termasuk dalam kasus kriminal. Kasus-kasus jinayat tersebut jelas disebut dalam dalil-dalil hukum Islam, baik Al-Quran, Hadits maupun dalil-dalil syar’iy yang lain. Semua kejahatan ini akan diberikan denda bagi siapa yang melakukannya. Alasan kenapa tindakan kejahatan dilarang dalam Islam, adalah karena agama Islam sangat intens menjaga hak-hak manusia. Dalam Islam seseorang sama sekali tidak dibenarkan memperlakukan orang lain dengan semena-mena, tetapi Islam menyuruh umatnya untuk saling menghormati dan menjaga hak orang lain. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kehidupan yang dinamis dan ideal. C. TUJUAN HUKUM JINAYAT 1. Tujuan Umum Hukum Islam secara umum memiliki tujuan sebagai rahmatan lil alamin, hukum Islam menjadi tolak ukur bagi manusia dalam menjalankan segala aktivitas kehidupan baik dalam bidang ubudiyah, sosial, pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya, semua hal itu harus sesuai dengan hukum Islam, bila tidak maka dikatakan bathil. Namun secara subtansial hukum Islam memiliki tujuan masing-masing, sebagaimana jinayat yang merupakan satu bidang dalam fiqh, juga memiliki tujuan tersendiri sebagaimana bidang-bidang yang lain. Adapun hukum jinayat maka Makalah Rakernas 2011 | 6 tujuannya adalah untuk mencegah tindak kejahatan dengan memberikan hukuman bagi seseorang sesuai dengan kejahatan yang ia lakukan. Tujuan umum dari hukum jinayat tersebut adalah untuk mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, baik dengan mendatangkan keuntungan dan manfaat ataupun menghilangkan kemudharatan dan kerusakan dari manusia. Maka dalam hal ini Allah menghendaki agar manusia terlepas dari segala kerusakan dan memperoleh keselamatan. 2. Tujuan Khusus Secara khusus hukum jinayat adalah bertujuan untuk menjaga lima hal yang terdapat pada manusia, yang kelima hal tersebut kedudukannya sangat penting yaitu, agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. Kelima hal ini wajib bagi manusia untuk menjaganya dan juga dilarang menghilangkan salah satu dari kelima hal ini dari orang lain. Maka bila ia melakukannya akan dikenakan denda. Bentuk denda yang diberikan juga bermacam-macam tergantung besar dan kecilnya kesalahan yang dilakukan. Denda tersebut terdiri dari qisas, rajam, had, dan ta’zir. Semua itu adalah untuk membuat jera pelaku jinayah agar tidak mengulangi lagi perbuatannya, demikian juga bagi orang lain sehingga urung untuk melakukan kejahatan bila melihat hukuman yang akan diterima bila melakukan kejahatan. D. PROBLEM PENEGAKAN HUKUM JINAYAT Penegakan hukum (law enforcement) merupakan permasalahan yang muncul hampir di setiap negara, khususnya bagi negara-negara berkembang. Di Indonesia permasalahan hukum sangat banyak dan beragam baik kualifikasinya maupun modus operandinya, termasuk penegakan hukum jinayat di Aceh. Saking banyaknya masalah hukum tersebut, maka banyak pula yang belum atau mungkin tidak akan dapat diselesaikan. Dan apabila dicermati maka terdapat banyak hal yang perlu dibenahi terkait dengan penegakan hukum di Indonesia yang bersifat sistemik. Oleh sebab itu, pembenahannya pun harus dilaksanakan secara sistemik. Makalah Rakernas 2011 | 7 Menurut Friedman, sistem hukum mencakup tiga aspek yaitu: aspek struktural, substansial dan kultural. Agar supremasi hukum dapat terwujud, tentunya ketiga subsistem tersebut harus berjalan baik secara simultan. Adapun upaya-upaya pembenahan yang harus segera dilakukan adalah: 1. Aspek Struktural Struktur hukum yang dimaksud di sini mencakup dua hal yaitu kelembagaan hukum dan aparatur hukum. Menyangkut kelembagaan, Mahkamah Syar’iyah dengan sebagian kewenangannya mengadili perkara pidana tertentu in casu jinayat merupakan lembaga baru yang harus melengkapi segala atribut hukum menyangkut kewenangan barunya itu. Sedangkan menyangkut aparatur hukum adalah Sumber Daya Manusia yang merupakan salah satu permasalahan dalam penerapan dan penegakan hukum di Mahkamah Syar’iyah. Hal mana dirasakan masih kurangnya tenaga hakim tingkat banding ataupun tingkat pertama dan terjadinya mutasi hakim dari lembaga Peradilan Agama lain ke Mahkamah Syar’iyah Aceh yang belum pernah menangani kasus jinayat. 2. Aspek Substansial Substansi hukum yang dimaksud di sini adalah mencakup aturan-aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Secara substansial dalam menjalankan kewenangan menyelesaikan perkara jinayat, Mahkamah Syar’iyah mengakui masih menemukan kendala dalam penyelenggaraan tugas kewenangan Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, terutama menyangkut hukum formil dan materil. Terkait dengan substansi hukum tersebut, secara ekternal juga terdapat kendala yang meliputi: Pertama : Para terdakwa tidak ditahan untuk setiap tingkat proses pemeriksaan (baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penyiapan berkas di kejaksaan maupun pada saat pemeriksaan di pengadilan dan pelaksanaan eksekusi, sehingga proses pemeriksaan sering terhambat bahkan gagal sama sekali karena para terdakwa Makalah Rakernas 2011 | 8 tidak ditemukan ketika dipanggil untuk hadir. Hal ini terjadi karena Mahkamah Syar’iyah belum mempunyai hukum acara tersendiri dalam menyelesaikan kasus jinayat. Hukum formil (acara) yang digunakan di Mahkamah Syar’iyah adalah hukum acara pidana yang berlaku di pengadilan umum sementara hukum materil berdasarkan qanun. Dalam masalah penahanan, kedua aturan ini tidak mungkin bertemu karena hukuman berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat dikompensasikan dengan masa penahanan, sementara dalam qanun materil jinayat tidak ada hukuman yang dapat dikompensasikan dengan masa penahanan disebabkan lama masa hukuman kurungan dalam qanun tidak mencapai batas minimal sebagaimana yang diatur dalam KUHAP dan selebihnya hukuman dalam qanun berupa cambuk dan membayar denda. Kedua : Para ahli hukum dan praktisi hukum belum dapat menerima pelimpahan wewenang perkara pidana (jinayat) kepada Mahkamah Syar’iyah yang sebelumnya merupakan kewenangan pengadilan umum karena payung hukum pelimpahan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara teori dan hierarki hukum. Mereka beralasan “kewenangan mengadili perkara pidana (jinayat) diberikan kepada pengadilan umum berdasarkan undang-undang, sementara kewenangan tersebut dicabut dari pengadilan umum dan diberikan kepada Mahkamah Syar’iyah berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6 Oktober 2004 tentang pelimpahan sebagian wewenang dari peradilan umum kepada Mahkamah Syar’iyah, secara hierarki tidak mungkin Undang-undang dapat dikalahkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Demikian juga Undangundang No.44 Tahun 1999 jo Undang-undang No.18 Tahun 2001 jo Undang-Undang No.11 Tahun 2006 memberikan wewenang kepada Mahkamah Syar’iyah untuk mengadili perkara pidana (jinayat) bersifat umum yang rinciannya akan diatur dengan qanun di mana nilainya sangat jauh di bawah Undang-undang, sementara kewenangan mengadili perkara pidana diberikan kepada peradilan umum dengan Undang-undang Makalah Rakernas 2011 | 9 secara rinci. Secara teori hukum undang-undang umum akan dikalahkan dengan Undang-undang khusus (lex spesialis dirogat lex generalis)”. 3. Aspek Kultural Dalam penegakan hukum salah satu unsur yang penting adalah budaya hukum. Budaya hukum ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan hukum masyarakat. Dalam tradisi hukum civil law, pembentukan praturan perundang-undangan sangat mudah. Selain itu tradisi civil law ini menganut teori fictie hukum yang konsekuensinya semua orang dianggap telah tahu hukum, sehingga tidak ada alasan bagi seseorang yang melanggar hukum untuk tidak di hukum hanya dengan alasan tidak tahu hukum walaupun sebenarnya orang tersebut tidak tahu bahwa telah ada hukum baru. Untuk meningkatkan budaya sadar hukum bagi masyarakat seharusnya sosialisasi peraturan perundang-undangan harus dilakukan secara intensif. Karena apabila tidak, akan sulit untuk menciptakan budaya hukum yang lebih baik. Hal ini tidak terlepas dari SDM yang rendah, hambatan akses informasi dan lain sebagainya. Aspek penyebaran informasi yang lamban juga sesungguhnya sangat mempengaruhi rendahnya tingkat pemahaman hukum masyarakat tentang kewenangan Mahkamah Syar’iyah. Sejalan dengan apa yang telah diuraikan tersebut, Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH., M.A. dalam bukunya “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum” bahwa masalah pokok penegakan hukum (law enforcement) sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktorfaktor dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Faktor hukumnya sendiri, berupa undang-undang; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; Makalah Rakernas 2011 | 10 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Lebih lanjut Soerjono Soekanto menyatakan bahwa kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum. Dengan melihat kenyataan banyaknya kendala yang dihadapi, disarankan kepada seluruh aparatur hukum Mahkamah Syar’iyyah tidak mudah berputus asa. Dalam kondisi hukum dan penegakan hukum seperti itu bisa saja dikatakan berada dalam kondisi abnormal. Dan dengan meminjam kata-kata Achmad Ali, maka terhadap hal itu, juga harus ditangani dengan cara-cara abnormal. Jenis keadilan yang harus diwujudkan juga harus jenis keadilan yang cocok untuk situasi abnormal itu. Achmad Ali, dengan menyitir pandangan Kritz mengistilahkan sebagai transitional justice. Pemahaman ini didasarkan pada kondisi abnormal, maka dalam menegakkan keadilan jangan lagi menonjol-nonjolkan prosedural justice semata, yaitu hanya keadilan yang lahir dalam suatu proses formal penegakan hukum. Untuk memulihkan kepercayaan rakyat, jangan lagi formalitas dan prosedural yang dikedepankan, tetapi para penegak hukum seyogianya lebih memperhatikan asas keadilan masyarakat (vide H. Siswono Sunarto, 2005). E. PENUTUP Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka problem penegak hukum jinayat di Aceh ke depan haruslah menjadi tanggung jawab kolektif kita bersama sebagai warga peradilan. Tanpa kemauan dan niat baik mustahil penegakan hukum jinayat dapat diwujudkan. Salah satu yang terpenting adalah pemahaman kita terhadap hak dan kewajiban. Nemo Sine Cruce Beatus: tiada kebahagiaan tanpa usaha. Makalah Rakernas 2011 | 11 Daftar Bacaan : 1. Undang-Undang Dasar RI tahun 1945; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; 4. Undang-Undang RI Nomor 8 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum; 5. Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh; 6. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2001 tentang member izin kepada Aceh untuk melaksanakan syariat Islam secara sempurna dan menyeluruh; 7. Soerjono Soekanto, Prof. Dr. S.H., M.A., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Ed. I,-9-, Rajawali Pers, Jakarta, 2010; 8. H. Siswono Sunarto, Dr., S.H., M.H., Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Cet.I, 2005;

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN HUKUM JINAYAT
DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Oleh: Hakim Agung Drs. H. Hamdan. SH, MH
A. PENDAHULUAN
Menurut Aristoteles, manusia merupakan zoon politicon (makhluk sosial).
Hal ini tidak dapat dipungkiri dari kenyataan yang ada, di mana manusia selalu
berinteraksi antara yang satu dan yang lainnya. Di samping sebagai makhluk sosial
manusia juga merupakan makhluk Tuhan yang dianugerahi nafsu atau kehendak yang
mendorong manusia untuk bertindak. Nafsu inilah yang dapat menjadi sebuah
bencana apabila tidak dikendalikan. Oleh karena itu ada benarnya apa yang dikatakan
oleh Hobbes “hommo homini lupus bellum contra omnes” yang artinya bahwa manusia
ibarat serigala yang ganas dan saling memangsa satu dan yang lainnya.
Untuk mengatur tata kehidupan manusia yang dapat berpotensi menjadi
kacau dan tak beraturan itu, maka dibutuhkan suatu instrumen yang disebut hukum.
Dengan hukum ini manusia dipaksa untuk menghormati hak-hak orang lain serta
mempunyai kewajiban untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang aman dan tertib
(rust end orde), selain itu hukum juga diharapkan dapat mengakomodasi kemungkinankemungkinan
yang terjadi di masa yang akan datang melalui pembentukan instrumen
hukum baik berupa peraturan perundang-undangan maupun kelembagaannya. Di
dalam aliran pragmatic legal realism yang dipelopori oleh Roscou Pond hukum
dianggap sebagai a tools social of engeneering (alat rekayasa sosial). Oleh karena itu
suatu keniscayaan kiranya di dalam masyarakat ada hukum (ubi societes ibi ius).
Indonesia sebagai negara hukum dengan wilayah yang luas dan berpenduduk
besar telah membagi wilayah atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi
atas kabupaten dan kota sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi “Negara Kesatuan
Makalah Rakernas 2011 | 3
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kebupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”.
Ayat tersebut tidak mengurangi makna otonomi daerah yang dijamin dalam
Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (7) dan Pasal 18A serta Pasal 18B UUD 1945.
Bahkan pengaturan yang memberikan otonomi khusus kepada Provinsi Daerah
Istimewa Aceh yang menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan kepada
Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua mencerminkan bahwa di bawah Negara
Kesatuan Republik Indonesia tetap dimungkinkan adanya pola-pola pengaturan yang
bersifat pluralis seperti Aceh dan Papua.
Aceh adalah salah satu daerah dalam wilayah Republik Indonesia yang memiliki
keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Legitimasi ini diberikan
oleh pemerintah pusat untuk memenuhi harapan masyarakat Aceh yang menginginkan
daerah ini berlaku hukum syariat sebagaimana dahulu kala di masa kesultanan Aceh.
Akhirnya pemerintah pusat menyetujui dengan membuat UU No 44 Tahun 1999 yang
antara lain mengatur tentang syariat Islam di Aceh.
Selain undang-undang ini masih ada beberapa undang-undang yang lain tentang
pemberlakuan syariat Islam di Aceh, termasuk yang terakhir sekali disahkan yaitu UU
No 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Dalam undang-undang tersebut
tentang syariat Islam disebut di banyak tempat, masuk ke dalam berbagai bidang dan
lebih lengkap dari apa yang telah ada sebelumnya.
Sejak diresmikan Mahkamah Syar’iyah pada tahun 2003 sampai saat ini dengan
kewenangan memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang
meliputi bidang al-ahwal al-syakhshiyyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata)
dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas Syariat Islam, selain secara rutin
menyelesaikan semua perkara yang diajukan kepada Mahkamah di tingkat
Kabupaten/Kota maupun di tingkat Provinsi secara internal Mahkamah Syar’iyah
sedang melengkapi aparat dan sarana, dan secara external Mahkamah Syar’iyah sedang
giat melakukan koordinasi dan komunikasi untuk lancar dan suksesnya peran, tugas
Makalah Rakernas 2011 | 4
pokok dan fungsinya selaku pelaksana kekuasaan kehakiman di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Bersamaan dengan pelaksanaan tugas-tugas pokok Mahkamah Syar’iyah, tidak
sedikit faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan atau penegakan hukum
terutama menyangkut hukum jinayat.
B. PENGERTIAN HUKUM JINAYAT
Hukum Jinayat adalah salah satu dari uslub dalam pembahasan fiqh, uraian
tentang jinayat posisinya diurutan terakhir setelah ibadah, muamalah dan munakahah.
Pembahasan masalah jinayat diurutan yang terakhir mempunyai philosofy tersendiri
sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai literatur fiqh. Pholosofy tersebut ialah
bahwasanya bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan tubuh dan syahwatnya,
maka dalam kondisi ini biasanya mereka cenderung melakukan perbuatan jinayat.
Adapun yang dimaksud dengan Jinayat adalah suatu tindak kejahatan,
pengrusakan maupun penghilangan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain,
selain itu jinayat juga sering disebut dengan jarimah. Jinayat juga diistilahkan untuk
denda atau hukuman bagi para pelaku kejahatan. Bagi setiap pelaku kejahatan mereka
pasti akan mendapatkan ganjaran atas perbuatannya yang tidak lurus baik di dunia
maupun di akhirat. Pemberian denda di dunia tersebut secara khusus juga disebut
sebagai jinayat atau pun jarimah.
Pelarangan tindakan jinayat dipahami dari dalil yang terdapat dalam Al-Quran
dan Hadits Nabi SAW, selanjutnya juga dalil-dalil syar’iy lainnya. Hal ini dapat dilihat
dalam Al-Quran Surat Al-An’am ayat 151 yang berbunyi:
Artinya: Jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak….
(Al-An’am: 151)
Makalah Rakernas 2011 | 5
Dalam ayat di atas Allah Swt dengan jelas mengatakan bahwa sama sekali tidak
boleh membunuh suatu jiwa yang diharamkannya, yaitu orang yang mukmin kecuali
dengan cara yang hak, artinya dengan alasan tertentu sehingga ia boleh dibunuh,
seperti karena orang mukmin tersebut telah membunuh sesama mukmin, telah
melakukan zina muhsan dan lain-lain. Selain ayat di atas juga masih banyak lagi ayatayat
Al-Quran yang menjelaskan tentang larangan melakukan tindakan jinayat
(pidana).
Tindakan pidana ataupun jinayat bukan hanya membunuh saja, akan tetapi juga
mencakup kejahatan-kejahatan yang lain seperti pemukulan, penghilangan anggota
badan, merusak kehormatan, tuduhan, perkosaan, perzinahan dan lain sebagainya
yang termasuk dalam kasus kriminal. Kasus-kasus jinayat tersebut jelas disebut dalam
dalil-dalil hukum Islam, baik Al-Quran, Hadits maupun dalil-dalil syar’iy yang lain.
Semua kejahatan ini akan diberikan denda bagi siapa yang melakukannya.
Alasan kenapa tindakan kejahatan dilarang dalam Islam, adalah karena agama
Islam sangat intens menjaga hak-hak manusia. Dalam Islam seseorang sama sekali
tidak dibenarkan memperlakukan orang lain dengan semena-mena, tetapi Islam
menyuruh umatnya untuk saling menghormati dan menjaga hak orang lain. Tujuannya
adalah untuk mewujudkan kehidupan yang dinamis dan ideal.
C. TUJUAN HUKUM JINAYAT
1. Tujuan Umum
Hukum Islam secara umum memiliki tujuan sebagai rahmatan lil alamin, hukum
Islam menjadi tolak ukur bagi manusia dalam menjalankan segala aktivitas kehidupan
baik dalam bidang ubudiyah, sosial, pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya, semua
hal itu harus sesuai dengan hukum Islam, bila tidak maka dikatakan bathil.
Namun secara subtansial hukum Islam memiliki tujuan masing-masing,
sebagaimana jinayat yang merupakan satu bidang dalam fiqh, juga memiliki tujuan
tersendiri sebagaimana bidang-bidang yang lain. Adapun hukum jinayat maka
Makalah Rakernas 2011 | 6
tujuannya adalah untuk mencegah tindak kejahatan dengan memberikan hukuman bagi
seseorang sesuai dengan kejahatan yang ia lakukan.
Tujuan umum dari hukum jinayat tersebut adalah untuk mendatangkan
kemaslahatan bagi manusia, baik dengan mendatangkan keuntungan dan manfaat
ataupun menghilangkan kemudharatan dan kerusakan dari manusia. Maka dalam hal
ini Allah menghendaki agar manusia terlepas dari segala kerusakan dan memperoleh
keselamatan.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus hukum jinayat adalah bertujuan untuk menjaga lima hal yang
terdapat pada manusia, yang kelima hal tersebut kedudukannya sangat penting yaitu,
agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. Kelima hal ini wajib bagi manusia untuk
menjaganya dan juga dilarang menghilangkan salah satu dari kelima hal ini dari orang
lain. Maka bila ia melakukannya akan dikenakan denda.
Bentuk denda yang diberikan juga bermacam-macam tergantung besar dan
kecilnya kesalahan yang dilakukan. Denda tersebut terdiri dari qisas, rajam, had, dan
ta’zir. Semua itu adalah untuk membuat jera pelaku jinayah agar tidak mengulangi lagi
perbuatannya, demikian juga bagi orang lain sehingga urung untuk melakukan
kejahatan bila melihat hukuman yang akan diterima bila melakukan kejahatan.
D. PROBLEM PENEGAKAN HUKUM JINAYAT
Penegakan hukum (law enforcement) merupakan permasalahan yang muncul
hampir di setiap negara, khususnya bagi negara-negara berkembang. Di Indonesia
permasalahan hukum sangat banyak dan beragam baik kualifikasinya maupun modus
operandinya, termasuk penegakan hukum jinayat di Aceh. Saking banyaknya masalah
hukum tersebut, maka banyak pula yang belum atau mungkin tidak akan dapat
diselesaikan. Dan apabila dicermati maka terdapat banyak hal yang perlu dibenahi
terkait dengan penegakan hukum di Indonesia yang bersifat sistemik. Oleh sebab itu,
pembenahannya pun harus dilaksanakan secara sistemik.
Makalah Rakernas 2011 | 7
Menurut Friedman, sistem hukum mencakup tiga aspek yaitu: aspek
struktural, substansial dan kultural. Agar supremasi hukum dapat terwujud,
tentunya ketiga subsistem tersebut harus berjalan baik secara simultan.
Adapun upaya-upaya pembenahan yang harus segera dilakukan adalah:
1. Aspek Struktural
Struktur hukum yang dimaksud di sini mencakup dua hal yaitu kelembagaan
hukum dan aparatur hukum. Menyangkut kelembagaan, Mahkamah Syar’iyah dengan
sebagian kewenangannya mengadili perkara pidana tertentu in casu jinayat merupakan
lembaga baru yang harus melengkapi segala atribut hukum menyangkut kewenangan
barunya itu. Sedangkan menyangkut aparatur hukum adalah Sumber Daya Manusia
yang merupakan salah satu permasalahan dalam penerapan dan penegakan hukum di
Mahkamah Syar’iyah. Hal mana dirasakan masih kurangnya tenaga hakim tingkat
banding ataupun tingkat pertama dan terjadinya mutasi hakim dari lembaga Peradilan
Agama lain ke Mahkamah Syar’iyah Aceh yang belum pernah menangani kasus jinayat.
2. Aspek Substansial
Substansi hukum yang dimaksud di sini adalah mencakup aturan-aturan
hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Secara substansial dalam menjalankan kewenangan menyelesaikan perkara
jinayat, Mahkamah Syar’iyah mengakui masih menemukan kendala dalam
penyelenggaraan tugas kewenangan Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, terutama
menyangkut hukum formil dan materil.
Terkait dengan substansi hukum tersebut, secara ekternal juga terdapat
kendala yang meliputi:
Pertama : Para terdakwa tidak ditahan untuk setiap tingkat proses
pemeriksaan (baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penyiapan berkas di kejaksaan
maupun pada saat pemeriksaan di pengadilan dan pelaksanaan eksekusi, sehingga
proses pemeriksaan sering terhambat bahkan gagal sama sekali karena para terdakwa
Makalah Rakernas 2011 | 8
tidak ditemukan ketika dipanggil untuk hadir. Hal ini terjadi karena Mahkamah
Syar’iyah belum mempunyai hukum acara tersendiri dalam menyelesaikan kasus
jinayat.
Hukum formil (acara) yang digunakan di Mahkamah Syar’iyah adalah hukum
acara pidana yang berlaku di pengadilan umum sementara hukum materil berdasarkan
qanun. Dalam masalah penahanan, kedua aturan ini tidak mungkin bertemu karena
hukuman berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dapat dikompensasikan dengan masa penahanan, sementara dalam qanun
materil jinayat tidak ada hukuman yang dapat dikompensasikan dengan masa
penahanan disebabkan lama masa hukuman kurungan dalam qanun tidak mencapai
batas minimal sebagaimana yang diatur dalam KUHAP dan selebihnya hukuman dalam
qanun berupa cambuk dan membayar denda.
Kedua : Para ahli hukum dan praktisi hukum belum dapat menerima
pelimpahan wewenang perkara pidana (jinayat) kepada Mahkamah Syar’iyah yang
sebelumnya merupakan kewenangan pengadilan umum karena payung hukum
pelimpahan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara teori dan hierarki
hukum. Mereka beralasan “kewenangan mengadili perkara pidana (jinayat) diberikan
kepada pengadilan umum berdasarkan undang-undang, sementara kewenangan
tersebut dicabut dari pengadilan umum dan diberikan kepada Mahkamah Syar’iyah
berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004
tanggal 6 Oktober 2004 tentang pelimpahan sebagian wewenang dari peradilan umum
kepada Mahkamah Syar’iyah, secara hierarki tidak mungkin Undang-undang dapat
dikalahkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Demikian juga Undangundang
No.44 Tahun 1999 jo Undang-undang No.18 Tahun 2001 jo Undang-Undang
No.11 Tahun 2006 memberikan wewenang kepada Mahkamah Syar’iyah untuk
mengadili perkara pidana (jinayat) bersifat umum yang rinciannya akan diatur dengan
qanun di mana nilainya sangat jauh di bawah Undang-undang, sementara kewenangan
mengadili perkara pidana diberikan kepada peradilan umum dengan Undang-undang
Makalah Rakernas 2011 | 9
secara rinci. Secara teori hukum undang-undang umum akan dikalahkan dengan
Undang-undang khusus (lex spesialis dirogat lex generalis)”.
3. Aspek Kultural
Dalam penegakan hukum salah satu unsur yang penting adalah budaya hukum.
Budaya hukum ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan hukum masyarakat. Dalam
tradisi hukum civil law, pembentukan praturan perundang-undangan sangat mudah.
Selain itu tradisi civil law ini menganut teori fictie hukum yang konsekuensinya semua
orang dianggap telah tahu hukum, sehingga tidak ada alasan bagi seseorang yang
melanggar hukum untuk tidak di hukum hanya dengan alasan tidak tahu hukum
walaupun sebenarnya orang tersebut tidak tahu bahwa telah ada hukum baru. Untuk
meningkatkan budaya sadar hukum bagi masyarakat seharusnya sosialisasi peraturan
perundang-undangan harus dilakukan secara intensif. Karena apabila tidak, akan sulit
untuk menciptakan budaya hukum yang lebih baik. Hal ini tidak terlepas dari SDM
yang rendah, hambatan akses informasi dan lain sebagainya. Aspek penyebaran
informasi yang lamban juga sesungguhnya sangat mempengaruhi rendahnya tingkat
pemahaman hukum masyarakat tentang kewenangan Mahkamah Syar’iyah.
Sejalan dengan apa yang telah diuraikan tersebut, Prof. Dr. Soerjono
Soekanto, SH., M.A. dalam bukunya “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum” bahwa masalah pokok penegakan hukum (law enforcement)
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktorfaktor
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, berupa undang-undang;
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan;
Makalah Rakernas 2011 | 10
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Lebih lanjut Soerjono Soekanto menyatakan bahwa kelima faktor tersebut
saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan
hukum.
Dengan melihat kenyataan banyaknya kendala yang dihadapi, disarankan
kepada seluruh aparatur hukum Mahkamah Syar’iyyah tidak mudah berputus asa.
Dalam kondisi hukum dan penegakan hukum seperti itu bisa saja dikatakan berada
dalam kondisi abnormal. Dan dengan meminjam kata-kata Achmad Ali, maka
terhadap hal itu, juga harus ditangani dengan cara-cara abnormal. Jenis keadilan yang
harus diwujudkan juga harus jenis keadilan yang cocok untuk situasi abnormal itu.
Achmad Ali, dengan menyitir pandangan Kritz mengistilahkan sebagai transitional
justice. Pemahaman ini didasarkan pada kondisi abnormal, maka dalam menegakkan
keadilan jangan lagi menonjol-nonjolkan prosedural justice semata, yaitu hanya keadilan
yang lahir dalam suatu proses formal penegakan hukum. Untuk memulihkan
kepercayaan rakyat, jangan lagi formalitas dan prosedural yang dikedepankan, tetapi
para penegak hukum seyogianya lebih memperhatikan asas keadilan masyarakat (vide
H. Siswono Sunarto, 2005).
E. PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka problem penegak hukum jinayat di
Aceh ke depan haruslah menjadi tanggung jawab kolektif kita bersama sebagai warga
peradilan. Tanpa kemauan dan niat baik mustahil penegakan hukum jinayat dapat
diwujudkan. Salah satu yang terpenting adalah pemahaman kita terhadap hak dan
kewajiban. Nemo Sine Cruce Beatus: tiada kebahagiaan tanpa usaha.
Makalah Rakernas 2011 | 11
Daftar Bacaan :
1. Undang-Undang Dasar RI tahun 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
4. Undang-Undang RI Nomor 8 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang RI
Nomor 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum;
5. Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh;
6. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2001
tentang member izin kepada Aceh untuk melaksanakan syariat Islam secara sempurna
dan menyeluruh;
7. Soerjono Soekanto, Prof. Dr. S.H., M.A., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Ed. I,-9-, Rajawali Pers, Jakarta, 2010;
8. H. Siswono Sunarto, Dr., S.H., M.H., Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Cet.I, 2005;

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda