Kamis, 15 September 2011

PERMASALAHAN HUKUM BAHAN RAKERNAS MARI

PERMASALAHAN HUKUM
BAHAN RAKERNAS MARI
Oleh Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H.
(Ketua Muda urusan Lingkungan Peradilan Agama MA-RI)
I. KELEMAHAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA
1. Kurang memfungsikan Pasal 119 HIR dan Pasal 143 Rbg. dimana Ketua/ketua
majelis dapat memberikan nasihat atau bantuan kepada penggugat bahkan
kepada kuasanya dalam mengajukan gugatan, serta Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU
No. 48 Tahun 2009.
Dalam kenyataannya pengadilan sering mengambil jalan pintas dengan
menyatakan gugatan tidak dapat diterima jika gugatan tidak memenuhi syarat
formal dan atau materiil sehingga membebani biaya berperkara kepada para
pihak. Seharusnya ketua majelis sebelum sidang membaca dahulu surat gugatan
yang akan disidangkan jika ada persyaratan formal dan materiil yang belum
terpenuhi, Ketua majelis memberitahukan kepada penggugat atau kuasanya
untuk memperbaiki gugatan tersebut sebelum dilakukan penetapan hari sidang
atau setidaknya sebelum dilakukan pemanggilan kepada para pihak.
2. Kuasa hukum sering dominan dalam penundaan persidangan. Ketua majelis
hakim tidak menyadari bahwa ia sebagai pimpinan sidang yang memiliki
kewenangan memimpin jalannya persidangan agar tertib, cepat dan lancar.
Dalam kenyataan banyak ditemukan pengacara meminta sidang ditunda untuk
beberapa lama karena ia mempunyai jadwal persidangan di pengadilan agama
atau di lingkungan peradilan lain. Hal ini menghambat, proses persidangan
menjadi lambat dan tidak tertib sehingga merugikan pihak berperkara dan pihak
pengadilan sendiri dalam penyelesaian perkara. Seharusnya majelis menerapkan
Pasal 159 ayat (4) HIR dan Pasal 186 ayat (1) Rbg. dimana penundaan sidang
tidak diperbolehkan atas permintaan para pihak bahkan majelis hakim sendiri
Makalah Rakernas MA RI 2011 | 3
secara ex officio tidak boleh menunda persidangan jika tidak ada sesuatu yang
sangat penting (alasan hukum).
3. Demikian halnya dalam sidang pembuktian, jika kedua belah pihak sudah
dipanggil secara sah dan penggugat sudah hadir dengan membawa alat bukti
tertulis dan saksi-saksi sedangkan tergugat tidak hadir tanpa alasan yang
dibenarkan oleh hukum, maka sebaiknya sidang pemeriksaan alat bukti
dilanjutkan tanpa dihadiri oleh pihak tergugat, dan pada sidang berikutnya hasil
persidangan tersebut dibacakan kepada pihak tergugat dan ia diberikan
kesempatan untuk menyampaikan tanggapannya.
4. Dalam proses persidangan Majelis kurang memanfaatkan Pasal 132 HIR dan Pasal
156 Rbg. Dimana Ketua majelis untuk memperlancar persidangan dapat
memberikan penjelasan kepada para pihak tentang upaya hukum dan tentang
alat bukti yang harus diajukan dalam persidangan oleh para pihak.
Sebagai contoh dalam persidangan banyak ditemukan disebabkan keawaman
pihak tergugat dalam jawabannya ia menyatakan bahwa ia mau dicerai jika suami
membayar nafkah yang selama ini diabaikan oleh suami, pengadilan dalam
menanggapi hal seperti itu mengabaikan apa yang dikemukakan tergugat.
Seharusnya berdasarkan Pasal 132 HIR dan Pasal 156 Rbg. Majelis hakim
menanyakan lebih lanjut maksud tergugat tersebut dengan berupaya menggali
fakta kejadian dan fakta hukum yang dapat dijadikan dalil tuntutannya itu
sehingga tuntutan yang sederhana tadi dapat dikonstruksikan menjadi tuntutan
rekonvensi.
5. Pembuktian tidak fokus, dalam pembuktian sebaiknya hakim menjelaskan dalil
apa yang harus dibuktikan dan bukti apa saja yang diperlukan oleh para pihak.
Penjelasan tersebut dapat dilakukan dengan putusan sela yang diktumnya
memuat: 1. Dalil-dalil yang harus dibuktikan dan; 2. bukti apa yang harus
diajukan. Jika tidak dilakukan putusan sela majelis hakim dapat memberikan
penjelasan secara lisan. Dengan demikian para pihak fokus dalam menyiapkan
dan membawa alat bukti sesuai anjuran dari majelis, sehingga tidak terjadi para
Makalah Rakernas MA RI 2011 | 4
pihak membawa alat bukti tertulis atau saksi yang tidak ada kaitannya atau saksi
yang tidak tahu menahu tentang peristiwa/dalil yang harus dibuktikan.
6. Pelanggaran asas pembuktian dimana yang mendalilkan sesuatu, maka ia yang
harus dibebani untuk melakukan pembuktian. Dalam kasus perceraian sering
ditemukan majelis memerintahkan penggugat dan tergugat membawa saksi
kemudian majelis hakim memutus perkara perceraian dengan satu saksi dari
penggugat dan satu saksi dari tergugat. Hal tersebut merugikan pihak tergugat
karena seharusnya Penggugat yang berkewajiban melakukan pembuktian tentang
dalil-dalil yang dijadikan alasan perceraian, tergugat tidak wajib melakukan
pembuktian. Dalam kasus di atas jika majelis tidak memerintahkan tergugat
membawa saksi maka gugatan penggugat hanya dapat dibuktikan dengan seorang
saksi (unus testis nullus testis) sehingga gugatannya harus ditolak.
7. Kekeliruan tatacara pemeriksaan alat bukti:
a) Dalam pemeriksaan alat bukti tertulis majelis tidak memberi kesempatan
kepada pihak tergugat untuk melihat dan memberikan tanggapan terhadap
alat bukti tertulis yang diajukan penggugat. Sehingga jika menurut tergugat
bukti yang diajukan oleh pihak penggugat mengandung cacat, maka ia dapat
mengajukan alat bukti lain yang dapat melumpuhkan bukti penggugat dan
disinilah fungsi tergugat melakukan pembuktian karena pada dasarnya
tergugat tidak punya kewajiban untuk melakukan pembuktian.
b) Dalam pemeriksaan saksi pihak tergugat bukan diberi kesempatan untuk
menanggapi keterangan saksi akan tetapi tergugat diberi kesempatan untuk
memberikan pertanyaan kepada saksi penggugat hal-hal yang menurut dia
tidak benar. Misalkan dalam keterangan saksi penggugat menyatakan saksi
pernah melihat tergugat bertengkar dengan penggugat. Maka tergugat dapat
bertanya kepada saksi untuk menggali lebih dalam kapan dan dimana terjadi
pertengkaran tersebut sehingga jika keterangan tersebut tidak benar dan
tergugat mempunyai saksi lain untuk membuktikan sebaliknya maka tergugat
Makalah Rakernas MA RI 2011 | 5
dapat mengajukan saksi alibi tersebut untuk melumpuhkan keterangan saksi
penggugat.
8. Pemeriksaan setempat sering ditemukan tidak teliti, tidak fokus dan tidak
relevan. Seharusnya pemeriksaan setempat dilakukan setelah selesai pembuktian
dan diperkirakan gugatan akan dapat dikabulkan sedangkan objek sengketa
masih ada yang diragukan mengenai letak, luas dan batas-batasnya. Maka
pemeriksaan setempat dilakukan untuk mengetahui letak, luas dan batas-batas
objek sengketa. Hasil pemeriksaan setempat inilah yang dijadikan dasar rujukan
dalam membuat putusan, sehingga dalam pelaksanaan eksekusi tidak mengalami
kendala cacat putusan akibat spesifikasi objek sengketa berbeda yang tercantum
dalam amar putusan dengan temuan di lapangan.
II. KELEMAHAN DALAM PEMBUATAN PUTUSAN.
1. Pembuatan putusan tidak sinkron, mengenai duduk perkara, pertimbangan
hukum dan amar putusan. Jika dalam duduk perkara terdapat konvensi, eksepsi,
dan rekonvensi, maka dalam pertimbangan hukum dan amar putusanpun harus
memuat konvensi, eksepsi dan rekonvensi.
2. Pertimbangan hukum sangat sumir, seharusnya pertimbangan hukum memuat
hal-hal sebagai berikut:
a) Legal standing para pihak.
b) Kewenangan absolut pengadilan.
c) Pokok-pokok dalil Penggugat.
d) Dalil yang diakui.
e) Dalil yang dibantah.
f) Bukti yang diajukan oleh Penggugat.
g) Pertimbangan alat bukti apakah memenuhi syarat formal dan materiil.
Makalah Rakernas MA RI 2011 | 6
h) Penilaian fakta-fakta yang dapat dibuktikan.
i) Menyimpulkan fakta hukum dari fakta-fakta yang telah dibuktikan.
j) Penerapan dasar hukum dari perundang-undangan dan hukum lainnya yang
berlaku.
k) Amar putusan.
III. KELEMAHAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN.
Pengadilan Agama dalam melaksanakan putusan sering banyak gagal, yang
disebabkan:
1. Kendala faktor luar yang melakukan perlawanan terhadap petugas pelaksana
sementara aparat keamanan yang di bawa kelapangan tidak memadai.
2. Kendala faktor ketidak profesionalan majelis hakim dalam membuat putusan,
dimana objek yang tercantum dalam amar putusan mengenai letak, luas dan
batas-batasnya tida cocok dengan keadaan ditempat.
3. Kendala ketidak profesionalan petugas pelaksana eksekusi, misalkan
tereksekusi memperlihatkan surat bukti objek sengketa sudah dibaliknamakan
atas nama orang lain. Seharusnya eksekusi jalan terus selama tidak ada pihak
yang mengajukan perlawanan eksekusi kepada pengadilan walaupun
tereksekusi memperlihatkan surat bukti bahwa objek sengketa sudah
dibaliknamakan atas nama orang lain. Eksekusi hanya bisa dihentikan jika objek
sengketa tidak ditemukan, objek sengketa tidak sesuai antara yang tercantum
dalam amar putusan dengan yang ditemukan di lapangan, dan jika ada
perlawanan eksekusi.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda