Kamis, 15 September 2011

HIYAL ASY-SYAR`IYAH DALAM PRAKTIK HIBAH DAN WASIAT

HIYAL ASY-SYAR`IYAH
DALAM PRAKTIK HIBAH DAN WASIAT
Mukhtar Zamzami
Pengertian
Kata al-hiyal adalah bentuk plural dari kata al-hilah yang berarti suatu tipu
daya, kecerdikan, muslihat, atau alasan yang dicari-cari untuk melepaskan diri dari
suatu beban atau tanggung jawab. Dalam ucapan orang Indonesia sehari-hari kata
hilah ini kemudian diucapkan dengan kilah (KBBI, 2005 : 567).
Dalam hukum secara teknis kata hilah dipergunakan sebagai suatu saluran
legal atau medium untuk suatu tujuan ekstra legal. Majid Khadduri yang mengutip
Sir Henry S. Maine menyatakan pengertian al-hiyal asy-syar`iyah hampir berdekatan
maknanya dengan kata legal fiction dalam tradisi hukum Barat.
Menurut asy-Syatibi, al-hilah adalah melakukan suatu amalan yang pada
lahirnya diperbolehkan untuk membatalkan hukum syara’ lainnya. Sekalipun pada
dasarnya seseorang itu mengerjakan suatu pekerjaan yang dibolehkan, namun
terkandung maksud pelaku untuk menghindarkan diri dari suatu kewajiban syara’
yang lebih penting daripada amalan yang dilakukannya tersebut.
Bentuk-Bentuk Hiyal Asy-Syar`iyah
Ibnul Qayyim al-Jauziyah (Abdul Aziz Dahlan, 2000 : 555) membagi hiyal alsyar`
iyah menjadi empat bentuk : Pertama, hilah yang mengandung tujuan yang
diharamkan dan cara yang digunakan juga cara yang haram. Contohnya kasus
orang yang meminum khamar sebelum masuk waktu shalat, sehingga kewajiban
shalatnya saat itu hilang. Kedua, hilah yang dilakukan dengan melaksanakan
Makalah Rakernas MARI 2011| 3
3
perbuatan yang dibolehkan, tetapi bertujuan untuk membatalkan hukum syara’
lainnya. Contohnya orang yang menghibahkan sebagian hartanya saat haul sudah
mendekat, dengan demikian ia terlepas dari kewajiban membayar zakat karena
hartanya sudah berkurang dari nisab. Disebut tipu daya karena jumlah harta yang
dihibahkannya lebih kecil dari zakat yang harus dikeluarkannya. Ketiga, perbuatan
yang dilakukan bukanlah perbuatan yang diharamkan, bahkan dianjurkan tetapi
bertujuan untuk sesuatu yang diharamkan. Contohnya ialah perkawinan rekayasa
oleh seorang muhallil terhadap seorang perempuan yang telah dicerai dengan talak
ba’in kubra dengan tujuan agar perempuan itu dapat dinikahi kembali oleh
suaminya. Keempat, hilah yang digunakan itu bertujuan untuk mendapatkan suatu
hak atau untuk menolak kezaliman.
Dari keempat macam hilah di atas, para ulama fiqih sepakat untuk tidak
membolehkan hilah bentuk pertama dan kedua. Sebaliknya terhadap hilah bentuk
ketiga dan keempat para ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan
ada yang melarang. Asy-Syatibi menyebutkan enam alasan mengapa hiyal asysyar`
iyah dilarang :
1. Tujuan pelaku hilah bertentangan dengan tujuan Syari` (Allah SWT dan
Rasulullah SAW) ;
2. Akibat perbuatan hilah membawa kepada kemafsadatan yang dilarang
agama. Contohnya dengan adanya hibah yang direkayasa, kewajiban
zakat menjadi hilang ;
3. Dalam akad yang melaksanakan suatu perbuatan berdasarkan hilah,
kehendak untuk melakukan akad itu sesungguhnya tidak ada, sehingga
unsur kerelaan dalam akad yang dilakukan sebenarnya tidak ada ;
Makalah Rakernas MARI 2011| 4
4
4. Hilah itu batal karena syaratnya bertentangan dengan kehendak akad ;
5. Hilah merupakan pembatalan terhadap hukum, sebab hilah dilakukan
dengan meninggalkan atau menambah syarat yang menyalahi ketentuan
syariat. Contoh hilah untuk menghindari zakat, nisab merupakan sebab
wajibnya zakat. Dengan hibah sebagai hilah, syarat wajib itu menjadi
hilang.
6. Hilah haram berdasarkan teori istiqra’ (induksi dari berbagai dalil). Dalildalil
tersebut di antaranya adalah ayat-ayat al-Quran menceritakan
tentang orang munafiq yang tidak ikhlas beramal. Hilah dilakukan karena
menghindari suatu kewajiban, dan ini perilaku yang tidak ikhlas beramal.
Hiyal Asy-Syar`iyah Dalam Praktik Hibah dan Wasiat
Hiyal asy-syar`iyah terjadi dalam pratik hibah dan wasiat, salah satunya ialah
adanya keinginan pemberi hibah (wahib) atau pembuat wasiat (washi) untuk
memberikan hartanya kepada penerima hibah atau wasiat dalam jumlah yang
diinginkannya guna menghindari ketentuan hukum lain yang membatasi jumlah
harta yang boleh diterima oleh penerima hibah atau wasiat. Contoh konkrit dari
kasus seperti ini adalah seperti yang pernah diajukan oleh Munawir Syadzali, Majid
Khadduri, Muhammad Said al-Asmawi, dan Qodri Azizy.
Keempat tokoh ini menjelaskan tentang kebiasaan banyak orang Islam
melakukan hibah atau wasiat untuk anak-anak mereka dengan menyamaratakan
bagian atau porsi antara anak laki-laki dengan anak perempuan, guna menghindari
secara implisit hukum faraidh (hukum kewarisan Islam) yang menentukan porsi
anak laki-laki dengan anak perempuan secara berbeda, yaitu anak laki-laki
Makalah Rakernas MARI 2011| 5
5
mendapat porsi dua kali dari porsi anak perempuan yang sering dipopulerkan
orang dengan istilah porsi dua banding satu, sesuai dengan petunjuk al-Quran
surah an-Nisa’ ayat 11. Di Indonesia, ketentuan porsi dua banding satu
dicantumkan dalam Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hilah melalui hibah
dengan tujuan agar para ahli waris mendapatkan pembagian harta waris secara
merata ini bukan saja banyak terjadi di Indonesia, tetapi juga di negeri-negeri
berpenduduk Islam lainnya. Muhammad Said al-Asmawi (2005 : 85)
mengungkapkan hal ini, dan praktik hilah seperti ini ketika sampai di Pengadilan
akan menimbulkan banyak kesulitan. Muhammad Amin al-Asmawi memberi saran
bagi orang tua yang ingin memberikan hak secara merata bagi anak-anaknya
menggunakan institusi wakaf ahli (wakaf keluarga). Melalui wakaf harta asal tidak
boleh dialihkan kepemilikannya, tetapi hasilnya dinikmati secara merata oleh
seluruh para ahli waris.
Menurut Munawir Syadzali (Ikaha, 1987 : 87) tindakan melakukan hibah
dengan cara membagikan sebagian besar harta kekayaan kepada anak-anak secara
sama rata tanpa memandang perbedaan kelamin dilakukan oleh banyak ulama.
Harta yang tertinggal hanya sebagian kecil, sehingga kalau ulama tersebut
meninggal maka yang dibagi secara faraidh hanya tinggal sedikit yang secara
kuantitas tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dalam pandangan
Munawir, kalau porsi dua banding satu itu secara sosiologis telah memenuhi rasa
keadilan, tidak mungkin para ulama itu melakukan kebijaksanaan pre-emptive
(mendahului) dengan melakukan hibah tersebut. Ketika asumsi ini ditanyakan
Munawir kepada salah seorang ulama terkenal yang melakukan hibah tersebut,
sang ulama tidak menjawab dan hanya mengangguk.
Makalah Rakernas MARI 2011| 6
6
Dalam tulisannya yang lain, Munawir (Iqbal Abdurrauf Saimima, 1988 : 3)
berpendapat perbuatan hibah seperti ini merupakan penyimpangan tidak langsung
dari ketentuan Qur`ani. Memang betul melakukan hibah juga merupakan ajaran
agama, tetapi melakukan hibah dengan semangat demikian (agar anak laki-laki dan
anak perempuan mendapat porsi yang sama) itu apakah sudah benar menurut jiwa
agama, atau bukankah hal tersebut merupakan hilah atau bermain-main dengan
agama ?
Majid Khadduri (1999 : 224) ketika menguraikan perbedaan antara keadilan
substantif dan keadilan prosedural, menilai pebuatan hilah dalam bentuk hibah
karena ingin memberikan harta dalam jumlah yang lebih besar daripada jumlah
yang dibolehkan dalam hukum kewarisan (faraidh) bukanlah perbuatan ilegal.
Hilah seperti ini adalah legal fiction atau fiksi hukum yang bijak yang sebenarnya
merupakan subordinasi keadilan substantif. Atas dasar pemikiran seperti inilah
menurut Khadduri para ulama dalam mazhab Hanafi membolehkan pemakaian
hilah dalam kerangka fiksi hukum yang bijak (wisdom legal fiction), bukan hilah
dalam menghindari kewajiban-kewajiban agama yang absolut keadilannya.
Besar kemungkinan atas dasar pemikiran seperti di atas itulah Munawir
Syadzali menganggap bahwa kesenjangan antara ketentuan-ketentuan Faraidh dan
pelaksanaannya oleh sementara masyarakat Islam itu tidak selalu disebabkan oleh
tipisnya kadar keislaman, tetapi lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor lain
yang sehat seperti rasa keadilan pancaran dari hati nurani.
Menurut A. Qodri Azizy (2002 : 197) penggunaan institusi hibah dalam
pembagian harta warisan merupakan hal yang cukup banyak dilakukan oleh
masyarakat Islam di Indonesia. Hanya bedanya, bila Munawir Syadzali, Muhammad
Makalah Rakernas MARI 2011| 7
7
Said al-Asmawi dan Majid Khadduri memposisikan hibah tersebut sebagai hiyal
asy-syar`iyah, Qodri Azizy menganggapnya sebagai bagian dari praktik al-ahkam alwijdaniyah
sebagaimana yang diperkenalkan oleh Muhammad Salam Madkur. Alahkam
al-wijdaniyah adalah hukum berdasarkan perasaan hati, yang berpegang
kepada asas saling merelakan (`an taradhin) antara sesama ahli waris sehingga para
ahli waris tidak perlu ke pengadilan.
Hiyal asy-Syar`iyah Sebagai Alasan Pembatalan Hibah dan Wasiat
Tidak selamanya hiyal asy-syar`iyah menjadi ahkam al-wijdaniyah seperti yang
disebut oleh Qodri Azizy. Ketika salah seorang atau beberapa ahli waris tidak
memberikan kesepakatan, asas `an taradhin tidak terpenuhi dan hiyal asy-syar`iyah
akan menjadi masalah hukum. Apa yang harus dilakukan oleh seorang hakim
Peradilan Agama ketika ada gugatan pembatalan hibah atau wasiat dengan alasan
hibah atau wasiat tersebut adalah hilah untuk menghindari Hukum Kewarisan
Islam ?
Secara normatif yuridis Pasal 211 KHI menyatakan hibah dari orang tua
kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pasal 714 KHES (Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah) melengkapi Pasal 211 KHI ini dengan klausul limitatif
bahwa hibah orang tua kepada anak diperhitungkan sebagai warisan apabila hibah
tersebut tidak disepakati oleh ahli waris lainnya. Ada dua hal perbaikan penting
yang dilakukan oleh Pasal 714 KHES terhadap Pasal 211 KHI. Pertama, KHES
menghilangkan kata “dapat” yang tercantum dalam Pasal 211 KHI, dan kedua,
KHES mencantumkan frasa “apabila hibah tersebut tidak disepakati oleh ahli waris
lainnya”. Perbaikan pertama merubah sifat fakultatif menjadi imperatif, sedang
Makalah Rakernas MARI 2011| 8
8
perbaikan kedua merubah sifat umum menjadi limitatif, dalam arti hibah yang
dianggap warisan itu adalah hibah yang tidak disepakati oleh seluruh ahli waris.
Pembatasan-pembatasan ini tidak terdapat pada Pasal 211 KHI.
Melalui sifat imperatif dan limitatif Pasal 714 KHES ini gugatan pembatalan
yang dilakukan oleh ahli waris terhadap hibah orang tua kepada anak menjadi
potensial untuk dikabulkan. Apalagi secara fiqhiyah berdasarkan kriteria Ibnu al-
Qayyim al-Jauziyah di atas, hibah ini termasuk hilah dalam bentuk melakukan suatu
perbuatan yang dibolehkan tetapi bertujuan untuk menghindari berlakunya hukum
syara’ yang lain, dan karena itu dilarang.
Hal yang sama juga berlaku terhadap wasiat yang diatur dalam Pasal 195 ayat
(3) KHI. Pasal ini menyatakan wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila
disetujui oleh semua ahli waris. Kata “hanya” dalam pasal ini menjadikan
persetujuan semua ahli waris sebagai klausul limitatif, sehingga bila ada satu saja
ahli waris yang tidak sepakat, wasiat berpotensi kuat untuk dibatalkan.
Akan tetapi dalam kajian hukum progresif yang mengutamakan tegaknya
keadilan substansif, masalah ini tidak sesederhana ketentuan normatif yuridis di
atas. Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
mewajibkan hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal 229 KHI juga mewajibkan hakim agar
dengan sungguh-sungguh memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat agar putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Kedua pasal ini mengajak
hakim mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup, yang oleh Uegen Ehrlich (1962 :
493) diistilahkan dengan living law yang keberlakuannya secara individual
Makalah Rakernas MARI 2011| 9
9
berdasarkan inner voice (suara batin, perasaan moral, rasa kebenaran) seperti
yang diutarakan Lawrence M. Friedman (1975 : 111).
Keinginan untuk memberikan kasih sayang dan memberikan harta secara
sama rata kepada anak tanpa memandang jenis kelamin adalah inner voice (the
conscience, moral feelings, the desire to obey, the sense og right) setiap orang tua
pada zaman ini, atau menurut Munawir Syadzali merupakan rasa keadilan
pancaran hati nurani. Keinginan ini sesungguhnya tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam. Karena itulah Majid Khadduri beranggapan hibah kepada
anak agar anak mendapat harta kekayaan secara merata tanpa memandang
kelamin adalah hilah yang bijak (wisdom legal fiction) dan merupakan subordinasi
dari keadilan substantif.
Jakarta, 09 Agustus 2011
Bahan Bacaan
Abdul Aziz Dahlan, (et al). 2000. Ensiklopedi Hukum Islam, Volume II, Jakarta :
PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
A. Qodri Azizy, 2002. Eklektisisme Hukum Nasional, Yogyakarta : Gama Media.
Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta
: Balai Pustaka.
Makalah Rakernas MARI 2011| 10
10
Ehrlich, Eugen, 1962. Fundamental Principles of The Sociology of Law, New York
: Russell & Russell Inc.
Friedman, Lawrence M., 1975. The Legal System, A Social Science Perspective,
New York : Russell Sage Foundation.
Ikatan Hakim Agama (IKAHA), 1987. Peranan Hakim Agama Dalam Pembinaan
Hukum Nasional, Makalah Seminar, Malang.
Iqbal Abdurrauf Saimima, 1988. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta :
Pustaka Panjimas.
Majid Khadduri, 1999. Teologi Keadilan Perspektif Islam, Penerjemah : Mochtar
Zoerni dan Joko S. Kahhar, Surabaya : Risalah Gusti.
Muhammad Said al-Asmawi, 2005. Problematika & Penerapan Syariat Islam
Dalam Undang-Undang, Penerjemah : Saiful Ibad, Jakarta : Gaung
Persada Press.
Muhammad Salam Madkur, 1964. Al-Qadha’ fi Al-Islam, Kairo : Dar al-Nahdhah
al-Arabiyah.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda