Selasa, 22 November 2011

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PTA PONTIANAK PADA KEPANITERAAN DAN KESEKRETARIATAN DALAM UPAYA MEREALISASIKAN PROGRAM KERJA KEDEPAN
Disampaikan pada Rakerda terbatas PTA Pontianak dengan PA Sekalimantan Barat di Kota Singkawang.

PENDAHULUAN
Panitera adalah penunjang utama dalam pelaksanaan peradilan yang tugas utamanya adalah penegakkan hukum. Walaupun panitera bukan yang memutus perkara tetapi pengelolaan administrasi ada ditangan panitera. Administrasi adalah sangat penting karena administrasi yang kacau akan membawa ketidak percayaan dimata masyarakat pencari keadilan.
Baca selengkapnya »

MATERAI DAN SAHNYA PERJANJIAN/KONTRAK


MATERAI  DAN SAHNYA SURAT PERJANJIAN/KONTRAK


Meterai atau bea meterai di Indonesia diatur dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 1985 tentang
Bea Meterai. Berdasarkan Undang-Undang tentang Bea Meterai tersebut, dinyatakan bahwa bea meterai
adalah pajak atas dokumen, termasuk di dalamnya surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat
dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan
yang bersifat perdata. Pengaturan lebih jelasnya tertuang dalam Pasal 2 UU No. 13 Tahun 1985 tentang
Bea Meterai.
Dalam masyarakat awam di Indonesia sering menimbulkan pertanyaan berkaitan bea meterai
dengan sahnya perjanjian atau kontrak, dalam hal ini apakah sah surat perjanjian atau kontrak
yang tanpa dibubuhi meterai yang cukup serta sejauh mana kekuatannya jika terjadi
sengketa di pengadilan?

Pertanyaan diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :

Di dalam KUHPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai Pasal 1880.
Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam Akta dan Surat bukan akta, dan Akta
dapat dibedakan dalam Akta Otentik dan Akta Di bawah tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan
sebagai akta harus ditandatangani, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh
orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat.
Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan  adalah cara pembuatan
atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut
dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Pegawai Pencatat Sipil),
maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau
dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta
otentik adalah akta notaris, putusan hakim (vonis), berita acara sidang, surat perkawinan, akta
kelahiran, akta kematian, dan sebagainya; sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat
perjanjian sewa menyewa rumah, dan surat perjanjian jual beli.
Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan
alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang
mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti
yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh
hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang
dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KUHPerdata, jika akta dibawah tangan tanda
tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat
merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli
warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.
Berkaitan dengan meterai atau bea meterai menurut Pasal 2 Undang-undang No. 13 Tahun
1985 tentang Bea Meterai disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang
dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau  
keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterai. Dengan demikian, maka tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa), maka tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah, karena sah atau tidaknya suatu perjanjian bukan ada tidaknya meterai, tetapi ditentukan oleh pasal 1320 KUHPerdata
Bila suatu surat perjanjian/kontrak yang ditandatangani dari semula tidak diberi meterai dan
akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.
Perlu ditegaskan kembali, bahwa tidak dilunasinya bea meterai dalam dokumen tersebut akan
berdampak terhadap kekuatannya sebagai alat bukti. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
bea meterai adalah pajak atas dokumen, termasuk di dalamnya surat perjanjian yang dibuat dengan
tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang
bersifat perdata.  Jika dokumen perjanjian atau kontrak yang tidak dibubuhi dengan meterai ternyata
akan dipergunakan sebagai alat bukti, maka UU tentang Bea Meterai mengatur bahwa dokumen yang
bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar
200 persen (dua ratus persen) dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar. Cara pembayarannya
adalah pemegang dokumen harus melunasi bea meterai yang terhutang berikut dendanya dengan cara
pemeteraian kemudian yang dapat dilakukan melalui Pejabat Kantor Pos.

Sumber :
1. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
3. www.hukumonline.com.


Senin, 17 Oktober 2011

TENTANG BANTUANH HUKUM OLEH LAWYER

1
SIGNIFIKASI BANTUAN HUKUM DAN PERAN PENGACARA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA
Oleh: H.Yayan Khaerul Anwar, M.Ag*
A. Pengertian Pengacara
Pengertian Pengacara dalam Bahasa Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai istilah seperti pengacara, advokat atau konsultan hukum, penasehat hukum, pembela Lalu dengan berlakunya Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Advokat yang memiliki pengertian :orang yang berprofesi memberikan jasa hukum berupa konsultasi, bantuan hukum, menjalankan kuasa. mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien,baik didalam maupun diluar pengadilan1
Dalam memilih dan menggunakan jasa Advokat. Sebaiknya masyarakat tetap jeli dan teliti memilih advokat sesuai kebutuhannya, terutama pemilihan ini didasarkan oleh kualitas serta nama baik Advokat itu sendiri.
Menurut sumber-sumber, Advokat Wajib Tergabung Pada Organisasi Profesi.
Ketika masyarakat akan memilih Advokat sebaiknya ia harus memeriksa terlebih dahulu apakah Advokat ini tergabung pada suatu organisasi profesi Advokat resmi yang diakui oleh Undang-Undang. Adapun organisasi profesi yang diakui oleh Undang-Undang Advokat2 antara lain:
1. Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN)
2. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)
3. Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI)
4. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI)
5. Serikat Pengacara Indonesia (SPI)
6. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)
1 Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003, Pasal 1.
2 Ibid, Pasal 32 ayat 3
2
7. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan
8. Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Menurut Undang-Undang ini seorang Advokat wajib menjadi anggota organisasi Advokat salah satu 8 organisasi diatas, Pentingnya masyarakat menanyakan keanggotaan organisasi profesi mana bagi seorang Advokat yang akan dipilih, memiliki kegnaan sebagai berikut:
1. apabila terjadi suatu pelanggaran kode-etik antara Advokat dengan klien, maka masyarakat dapat mengadukan pelanggaran dimaksud melalui Dewan Kehormatan Organisasi Profesi
2. melindungi kepentingan masyarakat selaku “konsumen” pengguna jasa advokat berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
B. Mekanisme Pembayaran Jasa Advokat atau Pengacara
Ada 4 (empat) metode pembayaran dalam memanfaatkan jasa Pengacara, antara lain:
1. Pembayaran Perjam (Hourly Rate), cara pembayaran ini biasanya dilakukan oleh Pengacara untuk jasa dalam lingkup bisnis kecil. Penting diketahui bahwa setiap aktifitas seorang Pengacara dalam mewakili kepentingan klien termasuk dalam jasa Telepon untuk konsultasi, dan hal-hal lain seperti surat menyurat untuk kepentingan legal advise, mempersiapkan dan menyusun suatu rancangan kontrak juga termasuk dalam perhitungan "jam" jasa yang harus dibayarkan. Jika metode ini yang digunakan, maka saat kita mengadakan pembicaraan dengan calon Pengacara yang kita pilih tanyakan juga waktu minimum pemakaian jasa. Kebanyakan Pengacara menggunakan waktu minimum untuk pemakaian jasanya adalah 15 (lima belas) menit. Dalam suatu contoh, apabila seorang klien menelpon selama tujuh menit maka akan dibebankan biaya atas pemakaian jasa 15 (lima belas) menit.
2. Pembayaran Ditetapkan (Fixed Rate), Pengacara yang akan menangani suatu tugas atau proyek biasanya menentukan sistem pembayaran tetap
3
(fixed rate). Namun sistem ini tidak dipakai pelayanan jasa dalam lingkup litigasi (sengketa yang penyelesaiannya melalui proses di pengadilan). Sistem ini biasanya diterapkan pada pemanfaatan jasa oleh bisnis skala kecil.
3. Pembayaran Berdasarkan Porsi (Contingent Fees) Pada sistem ini Pengacara menerima bagian dari hasil yang diperoleh dari klien yang dimenangkan dalam suatu sengketa hukum Apakah Pengacara disini hanya akan menerima bagian (Fee) jika ia berhasil memenangkan perkara tersebut. atau jika tidak, maka dia hanya akan menerima penggantian untuk biaya-biaya operasional yang telah dikeluarkannya. Pembayaran berdasarkan porsi seperti ini tidak dilakukan dalam masalah-masalah bisnis rutin. Sistem seperti ini umumnya dipergunakan dalam hal Pengacara bekerja dan mewakili klien untuk kasus sengketa melalui proses pengadilan, mediasi atau arbitrase seperti dalam suatu peristiwa dimana terjadinya tuntutan (gugatan) atas kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak lain yang klien alami.
4. Pembayaran Berkala (Retainer). Jika seorang Pengacara menggunakan system pembayaran berkala, maka Masyarakat sebagai klien membayar secara bulanan atau bisa juga dirancang untuk pembayaran secara tahunan. Sebelumnya berbagai jasa Pengacara yang akan diterima klien harus telah didefinisikan (dirinci) untuk disepakati bersama. Sebenarnya Sistem ini akan sangat menguntungkan jika klien tahu bahwa klien ini akan sering membutuhkan Pengacara dalam suatu periode tertentu3.
C. Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia
Ketika seserang berperkara di pengadilan Agama dan ia berkeinginan untuk menggunakan jasa pengacara maka pengacra yang bernaung di bawah Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia inilah yang paling cocok untuk dicari,
3 Esther Angela Agustin, Tip Memilih Advokat, (Online Resources) ttp://artikelhukumindonesia.blogspot.com/2009/03/, Diakses pada tanggal 10 Oktober 2010
4
alasanya karena mereka akan memahami baik materi hukum atupun hukum acaranya.
Keberdaan Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia ini memiliki maksud dan tujuan kerja sebagai berikut:
a. Maksud
1. Memperstukan para Advokat Syari'ah dalam suatu wadah organisasi kemasyarakatan.
2. Mneumbukhkan dan memelihara ukhwah (solidaritas) dan persatuan di antara para anggota.
3. Berpartisipasi secara aktif dalam menyuluhkan hukum dan pembinaan budaya hukum masyarakat serta memberikan pelayanan hukum dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh keadilan dan perlindungan.
b. Tujuan
1. Menegakkan hukum, keadilan, dan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat manusia serta tegaknya supremasi hukum di Indonesia demi terwujudnya Negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Turut berusaha mewujudkan masyarakat yang adil makmur, aman, tentram, dan tertib sesuai dengan tujuan pembangunan nasional4.
D. Signifikasi Peranan Pengacara di Lingkungan pengadilan Agama
Secara umum peranan seorang pengacara adalah membantu hakim untuk menemukan keadilan bagi para pihak yang berperkara. Namun peran yang seharusnya dijalankan di atas terkadang bahkan sering tidak ada yang lebih meonjol dari mereka adalah mereka berusaha memenangkan perkara dengan apapun caranya.
Terjadinya hal yang seperti disebutkan diatas bias dilatarbelakangi oleh hal-hal berikut:
1. Akhlak atau krakter yang berbeda-beda. Kualifikasi akhlak ini tentunya dipengaruhi oleh banyak factor mulai dari pendidikan sampai lingkungan.
4 Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia, Maksud dan Tujuan, (Online Resources) Diakses pada Tanggal 15 Oktober 2010.
5
2. Kurangnya penguasaan materi oleh pengacara dalam kasus yang di hadapi kliennya, maka sangat cocok dan pantaslah bil seorang yang berperkara di pengadilan Agama mengunakan jasa pengacara Syari’ah karena mereka lebih berkompeten sesuai dengan bidang yang ia kuasai. *Penulis Staf Pengajar UIN Sunan Gunung Djati Bandung
6
DAFTAR PUSTAKA
Undang Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003.
Esther Angela Agustin, Tip Memilih Advokat, (Online Resources) ttp://artikelhukumindonesia.blogspot.com/2009/03.
Asosiasi Pengacara Suari’ah Indonesia, Maksud dan Tujuan, (Online Resources).

Minggu, 09 Oktober 2011

SELAYANG PANDANG TENTANG PENANGANAN PERKARA PRODEO PADA PENGADILAN AGAMA


SELAYANG PANDANG TENTANG PENANGANAN
PERKARA PRODEO PADA PENGADILAN AGAMA
Oleh :
MUCHAMMAD JUSUF
Panitera / Sekretaris Pengadilan Tinggi Agama Pontianak
PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 pasal 60 B dan 60 C mengatur hak setiap orang yang tersangkut perkara untuk memperoleh bantuan hukum dan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu serta pembentukan pos bantuan hukum pada setiap Pengadilan Agama bagi pencari keadilan yang tidak mampu.
Sejalan dengan itu Pemerintah telah terlebih dahulu membuat Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang persyaratan dan tatacara pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma.
Selanjutnya Mahkamah Agung RI pun mengeluarkan SEMA Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, yang untuk lingkungan Peradilan Agama diikuti oleh Keputusan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama dan Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor : 04/TUADA-AG/II/2011 dan Nomor : 020/SEK/SK/II/2011, tentang Petunjuk pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 10 Tahun2010, tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran B
Apabila  dalam tulisan ini hanya tertulis Pengadilan Agama itu artinya sudah termasuk Mahkamah Syar’iyah.
Pelayanan Bantuan hukum yang dilaksanakan oleh antara lain adalah Pengadilan Agama bersesuaian dengan kebijakan pemerintah tentang arah pembangunan yang semakin menegaskan pentingnya akses ke Pengadilan Agama bagi masyarakat miskin.  Pelayanan bantuan hukum di peradilan agama/mahkamah syar’iyah telah memberi ruang kepada pencari keadilan yang kurang mampu berperkara di pengadilan agama untuk beracara secara Cuma-Cuma/prodeo.
TENTANG PELAYANAN BANTUAN HUKUM
Dalam SEMA No. 10 Tahun 2010 ini, Pelayanan bantuan sesuai lampiran B pada petunjuk pelaksanaannya untuk lingkungan Peradilan Agama adalah :
1.      Pos Bantuan Hukum
2.      Sidang Keliling
3.      Prodeo (berperkara secara Cuma-Cuma)
Khusus untuk perkara yang diajukan secara Cuma-Cuma/prodeo, baik yang tersebut dalam SEMA NO 10 Tahun 2010 yang dijabarkan dalam petunjuk pelaksanaannya maupun prodeo murni yang tersebut dalam HIR dan RBg,  telah membuka peluang atau yang paling tepat memberikan layanan secara three in one ( 3 in 1) kepada pencari keadilan yang tidak mampu/miskin, secara finansial dapat dilayani melalui :
1.      Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) ini artinya cukup dengan menunjukan/membawa ; Surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah/Banjar/Nagari/Gampong ; atau Surat keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT) lihat pasal 20 huruf (a) dan (b) mengenai syarat-syarat memperoleh jasa dari pos bantuan hukum Lampiran B SEMA No 10 Tahun 2010.
2.      Sidang Keliling, apabila gugatan/permohonan perkara prodeo tersebut telah didaftar oleh petugas dan telah ditentukan Majelis Hakimnya, maka untuk sidang insidentil atas perkara tersebut, Majelis Hakim dapat membuka persidangan langsung ditempat Pos Sidang Keliling, apabila Tempat kediaman Para pihak berperkara  dekat dengan tempat diadakannya sidang keliling dan didalam relaas panggilan oleh jurusita pengganti  tentu sudah disebutkan tempat perkara tersebut disidangkan (pasal 15 ayat 3. Lampiran B SEMA No 10 Tahun 2010).
3.      Prodeo (berperkara secara Cuma-Cuma), yang dimaksud dengan berperkara secara Cuma-Cuma adalah apabila setelah melalui proses persidangan secara insidentil oleh Majelis Hakim terbukti bahwa pihak yang mengajukan permohonan prodeo tersebut dikabulkan untuk berperkara secara prodeo (Cuma-Cuma), jadi meskipun perkara tersebut didaftarkan oleh petugas register  sebagai perkara prodeo bukan berarti perkara tersebut sudah bisa dilaksanakan dengan cara-cara prodeo tentu harus melalui proses persidangan dulu dengan putusan sela yang amarnya berbunyi “ Biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada negara”  dan amar putusan akhir pada perkara permohonan secara prodeo ini akan berbunyi “ Biaya yang timbul dalam perkara ini sejumlah RP……. Dibebankan kepada negara”  (pasal 2 ayat 18 petunjuk pelaksanaan SEMA No 10 Tahun 2010).
Untuk bunyi amar sebagaimana tersebut diatas apabila permohonan prodeo yang biaya perkara dibebankan kepada Negara, sedangkan apabila permohonan prodeo sebagaimana tersebut dalam pasal 237-242 HIR/pasal 273-278 RBg bunyi amarnya didalam putusan sela akan berbeda, yang jelas harus ada kata-kata didalam amarnya  “membebaskan penggugat/pemohon dari biaya perkara”.
Secara administrasi, maka penanganan perkara prodeo dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara yaitu :
1.      Prodeo sebagaimana tersebut dalam HIR/RBg
2.      Prodeo sebagaimana tersebut dalam SEMA No 10 Tahun 2010 yang dijabarkan dalam Keputusan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama dan Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor : 04/TUADA-AG/II/2011 dan Nomor : 020/SEK/SK/II/2011.
TATA CARA PEMBIAYAAN
Dalam petunjuk pelaksanaan SEMA No. 10 Tahun 2010 ini,  penulis hanya akan membahas tentang  perkara prodeo  karena dari segi administrasi penulis menemui beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dan kemungkinan akan menjadi kendala  bagi para petugas di Pengadilan Agama antara lain :
Pada pasal 7 ayat (1) Petunjuk Pelaksanaan Lampiran B, SEMA No 10 Tahun 2010 disebutkan “ biaya perkara prodeo dibebankan kepada negara melalui DIPA Pengadilan Agama”. Hal ini menandakan bahwa disetiap satuan kerja pada Pengadilan Agama telah tersedia dana bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu secara finansial dan apabila dana bantuan hukum tersebut telah habis dalam DIPA satker tersebut, maka perkara yang diajukan oleh pihak yang tidak mampu secara finansial tetap diterima dan didaftar sebagai perkara prodeo meskipun dana yang tersedia didalam DIPA Pengadilan Agama yang bersangkutan telah habis.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa ada prodeo murni dan ada prodeo yang dibebankan kepada negara melalui  DIPA satuan kerja pada Pengadilan masing-masing ( penulis sebut prodeo DIPA) dan khusus prodeo DIPA ini sebagaimana tersebut dalam pasal 1 ayat (7) Petunjuk pelaksanaan Lampiran B SEMA No 10 Tahun 2010 “Prodeo adalah proses berperkara di pengadilan secara Cuma-Cuma dengan dibiayai negara melalui DIPA pengadilan”.
Apabila  permohonan berperkara secara prodeo dikabulkan, Panitera Pengganti menyerahkan salinan amar putusan sela kepada Kuasa Pengguna Anggaran  untuk dibuat Surat Keputusan oleh Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen yang menyatakan bahwa biaya perkara dibebankan kepada DIPA pengadilan.
Berdasarkan surat keputusan KPA/PPK tersebut, Bendahara Pengeluaran menyerahkan bantuan biaya perkara kepada kasir (tanpa melalui bank) sebesar yang telah ditentukan dalam POK (Petunjuk Operasional Kegiatan) DIPA tahun berkenaan dengan bukti kwitansi.
Apabila bantuan biaya perkara telah habis sementara perkara masih berproses, maka kasir melapor kepada Kuasa Pengguna Anggaran dan berdasarkan laporan tersebut, KPA/PPK membuat surat keterangan bahwa bantuan biaya proses telah habis. Oleh Ketua Pengadilan Agama selanjutnya membuat surat perintah kepada Panitera bahwa proses perkara dilaksanakan secara prodeo murni (tanpa biaya).
Yang menjadi persoalan didalam juklak SEMA No 10 Tahun 2010, pada pasal 2 point (15), pasal 3 point (24) dan pasal 4 point (16) disebutkan bahwa “Jika terdapat sisa anggaran perkara prodeo, kasir mengembalikan sisa anggaran tersebut kepada KPA (bendahara pengeluaran) untuk selanjutnya dikembalikan ke kas negara”.
Terhadap pengembalian sisa anggaran perkara prodeo DIPA ini, ada perbedaan pendapat ; ada yang menyatakan disetor ke kas negara sebagai pengembalian sisa belanja dengan menggunakan form SSPB pada MAP dengan akun 815111 atau sejenisnya, dan ada yang menyatakan disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak dengan menggunakan form SSBP pada MAP dengan akun 423419 penerimaan peradilan dan kejaksaan sebagai pengembalian sisa perkara, atau yang sejenisnya.
Dalam pasal-pasal tersebut diatas tidak disebutkan pengembalian ke kas negara tersebut menggunakan akun apa, dengan form SSPB atau SSBP ?. dan ini mungkin perlu penjelasan oleh yang berkompeten untuk itu.
Kalau kita melihat tatacara pemberian bantuan biaya perkara prodeo, jelas ini diperuntukan kepada pihak pemohon prodeo dan hanya digunakan untuk biaya proses pada komponen biaya perkara prodeo ; pasal 7 point (2) lampiran B juklak SEMA No 10 Tahun 2010. Hal ini berarti uang itu sudah diberikan kepada pihak pemohon prodeo yang diserahkan dari bendahara pengeluaran kepada kasir dengan bukti bahwa pihak pemohon prodeo akan menerima lembar pertama dari SKUM yang dibuat oleh kasir.
Jadi  pemberian bantuan biaya perkara prodeo ini jelas kepada pemohon prodeo adalah sebagai pihak ketiga yang menerima pembiayaan dari negara dalam hal ini DIPA Pengadilan untuk membiayai perkara yang diajukan olehnya, meskipun bantuan biaya perkara tersebut tidak diterima secara langsung oleh pemohon prodeo.
(Sesuai dengan Juklak SEMA No 10 Tahun 2010).Apabila ada sisa setelah jurnal perkara ditutup oleh kasir, maka sisa biaya perkara prodeo tersebut harus dikembalikan sebagai pengembalian sisa panjar oleh kasir kepada bendahara pengeluaran.
Menurut hemat penulis bahwa uang yang diterima dari pihak ketiga entah darimana cara perolehannya apabila akan disetor ke kas negara, maka harus disetor melalui mekanisme PNBP dengan Mata Anggaran Penerimaan (MAP) dan akun yang telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008 tentang PNBP dan disetor ke kas negara oleh Bendahara Penerimaan.
 KOMPONEN BIAYA PERKARA
 Komponen biaya perkara dipengadilan terdiri dari :
1.      Biaya kepaniteraan atau Hak-Hak Kepaniteraan (HHK) dan Hak-Hak Kepaniteraan lainnya (PP Nomor 53 Tahun 2008, tentang PNBP). Antara lain :
a.     Pendaftaran.
b.     Redaksi.
2.      Biaya proses.
Untuk perkara secara Cuma-Cuma/prodeo (Prodeo DIPA), maka  komponen biaya perkara hanya biaya proses saja sedangkan biaya kepaniteraan (HHK) tidak dipungut dan untuk prodeo murni (prodeo HIR/RBg) tidak dikenakan biaya perkara.
KOMPONEN BIAYA PERKARA PRODEO
Komponen biaya perkara prodeo yang dibebankan kepada negara melalui DIPA Pengadilan Agama meliputi :
a.       Biaya pemanggilan para pihak
b.      Biaya pemberitahuan isi putusan
c.       Biaya sita jaminan
d.      Biaya pemeriksaan setempat
e.       Biaya saksi/saksi ahli
f.       Biaya eksekusi
g.      Biaya materai
h.      Biaya Alat Tulis Kantor
i.        Biaya penggandaan/photocopy
j.        Biaya pemberkasan dan penjilidan berkas perkara yang diminutasi
k.       Biaya pengiriman berkas.
(catatan : pada petunjuk pelaksanaan SEMA Nomor : 10 Tahun 2010), terjadi perbedaan bunyi pasal yakni pada BAB II pasal 2 point (10) berbunyi “ kasir membuat SKUM dan membukukan bantuan biaya perkara tersebut di dalam buku jurnal dan mengeluarkannya sesuai perintah Ketua Majelis selama proses perkara berlangsung dengan mengalokasikan terlebih dahulu biaya materai “.  Sedangkan dalam Lampiran B  SEMA Nomor 10 Tahun 2010 tersebut  pada BAB IV pasal 8 point (5) berbunyi “ Kasir harus terlebih dahulu menyisihkan biaya redaksi dan materai dari alokasi biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (4)”.
            Disini terlihat jelas ada perbedaan bunyi konteks didalam juklak tersebut dan ini akan membingungkan petugas, sehingga perlu penjelasan lebih lanjut.
Menurut hemat penulis oleh karena komponen pembiayaan perkara permohonan prodeo hanya menggunakan komponen pada biaya proses, maka Redaksi tidak perlu dipungut sebab redaksi termasuk dalam komponen Hak-Hak Kepaniteraan dan bukan biaya proses.
TATACARA PEMBUKUAN PERKARA PRODEO
Dalam hal permohonan prodeo diterima, maka kasir terlebih dahulu  mencatat dalam SKUM tambahan biaya dengan cap lunas dan mencatat dalam  jurnal perkara besarnya biaya yang diserahkan oleh bendahara pengeluaran  berdasarkan surat penetapan KPA/PPK. Sedangkan besarnya biaya perkara prodeo yang diberikan  sebesar yang telah ditentukan dalam POK (Petunjuk Operasional Kegiatan) DIPA tahun berkenaan dengan bukti kwitansi.
Adapun Tatacara pembukuannya/pencatatan yang dikeluarkan untuk perkara permohonan secara prodeo  baik yang dibebankan melalui DIPA ataupun prodeo murni harus dicatat melalui Jurnal perkara dan buku induk keuangan perkara.
Sedangkan untuk prodeo murni cukup komponen-komponennya saja yang dicatat dengan nilai nominal ditulis Rp 0,00 dalam jurnal dan buku induk keuangan perkara. Hal ini berlaku juga apabila prodeo diajukan pada tingkat banding. Sedangkan apabila prodeo diajukan pada tingkat kasasi dan permohonan peninjauan kembali maka tatacara pembukuannya agak berbeda, namun tetap dicatat dalam buku jurnal perkara kasasi/PK dan buku induk keuangan perkara dengan nilai nominal Rp 0,00 dan untuk biaya yang telah dikeluarkan dari DIPA dicatat dalam buku khusus (pasal 4 ayat 6 petunjuk pelaksanaan SEMA No 10 Tahun 2010 dan apabila Pengadilan Agama telah menerima salinan putusan kasasi dan amar putusan kasasi tersebut telah diberitahukan kepada para pihak, maka buku jurnal keuangan kasasi (KI-PA.3) ditutup dengan biaya Rp 0,00 (nihil); pasal 4 ayat 17 petunjuk pelaksanaan SEMA No 10 Tahun 2010.
TENTANG  PENETAPAN HARI SIDANG DAN RELAAS PANGGILAN INSIDENTIL
Apabila perkara diajukan dengan permohonan prodeo, maka yang bersangkutan harus diperiksa terlebih dahulu apakah benar-benar miskin ?. dan untuk membuktikan miskin tidaknya pihak pemohon, maka Hakim/majelis akan membuka sidang insidentil terlebih dahulu, yang menjadi persoalan apakah para pihak dipanggil dengan menggunakan relaas panggilan dengan form untuk panggilan pertama atau relaas panggilan khusus insidentil.
Kalau kita melihat  Penetapan Hari Sidang (form PHS) yang digunakan oleh Ketua Majelis adalah PHS untuk menetapkan hari sidang biasa bukan untuk sidang insidentil, begitu pula relaas panggilan yang digunakan oleh jurusita pada saat memanggil pihak pada sidang insidentil, oleh jurusita menggunakan form relaas panggilan  untuk sidang pertama terutama relaas panggilan kepada tergugat/termohon yang didalam konsiderannya berbunyi “  Selanjutnya saya telah meninggalkan dan menyerahkan sehelai surat panggilan beserta surat gugatan penggugat yang oleh tergugat dapat dijawab baik secara lisan maupun tertulis olehnya atau kuasanya yang sah di depan persidangan “.
Pada saat penulis berkunjung ke Pengadilan Agama yang penulis dapati semuanya menggunakan relaas panggilan pertama pada perkara biasa padahal relaas ini untuk memeriksa pokok perkara dan menurut hemat penulis sebaiknya relaas panggilan insidentil formnya harus berbeda dengan form panggilan pertama, sebab sidang insidentil pada permohonan berperkara secara Cuma-Cuma/prodeo belum memeriksa pokok perkara. (pada bagian ini penulis hanya mencoba berurun rembuk dengan melihat permasalahan yang ada karena ini merupakan ranah hakim dalam pembahasan-pembahasan tehnis justisial).
Demikian semoga tulisan ini  bermanfaat.
Pontianak 5 oktober 2011
MUCHAMMAD JUSUF
Email : mathe.suva@gmail.com