Kamis, 15 September 2011

PERMASALAHAN HUKUM PERKAWINAN DALAM PRAKTEK PENGADILAN AGAMA

PERMASALAHAN HUKUM PERKAWINAN
DALAM PRAKTEK
PENGADILAN AGAMA
Oleh: Habiburrahman
PENDAHULUAN
Hukum Perkawinan yang menjadi hukum terapan hakim pada peradilan
agama adalah hukum yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan antara lain adalah: izin beristeri lebih dari seorang, izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun dalam hal orang tua wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat, dispensasi kawin, pencegahan perkawinan, penolakan perkawinan oleh
Pegawai Pencatat Nikah, pembatalan perkawinan, gugatan kelalaian atas kewajiban
suami atau isteri, perceraian karena talak, gugatan perceraian, penyelesaian harta
bersama, mengenai penguasaan anak-anak, ibu dapat memikul biaya pemeliharaan
dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggungjawab tidak
memenuhinya, penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri atau penentuan suatu
kewajiban bagi bekas isteri, putusan tentang sah tidaknya seorang anak, putusan
tentang pencabutan kekuasaan orang tua, pencabutan kekuasaan wali, penunjukan
orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut,
menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan
belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan oleh
orang tuanya, pembenanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya,
penetapan asal usul anak, ptutusan tentang hal penolakan pemberian keterangan
untuk melakukan perkawinan campuran, pernyataan tentang sahnya perkawinan
yang terjadi sebelum Undang-undang znomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
dijalankan menurut peraturan yang lain (Penjelasan Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989).
Dengan lahirnya INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI), Inpres yang menjadi wadah atas kesepakatan Ulama dan Cendikiawan
Muslim Indonesia, antara lain bidang Hukum Perkawinan Islam, kewenangan hakim
pada peradilan agama tersebut bertambah beberapa poin, antara lain tentang: mahar,
3
itsbat nikah (Pasal 7 ayat (2), (3), dan (4) KHI.), larangan kawin, kawin hamil,
pembatalan perkawinan, pemeliharaan anak (hadhanah), akibat talak1. Kemudian
dengan lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kewenangan di bidang perkawinan
ditambah lagi: penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
Sesuai dengan topik yang ditugaskan oleh Ketua Muda Agama dalam rangka
Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada penulis:
"Beberapa Masalah Hukum Perkawinan dalam Praktek Pengadilan Agama",
tidak semua aspek di bidang perkawinan tersebut di atas diangkat dalam makalah ini,
kami batasi dalah hal-hal berikut: itsbat nikah, izin melangsungkan perkawinan bagi
orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua wali atau
keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat dan penolakan perkawinan oleh
Pegawai Pencatat Nikah, mengenai penguasaan anak-anak (hadhanah), penentuan
kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri (mut'ah), dan
penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
ITSBAT NIKAH
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2) menyatakan:
'Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku',
dilengkapi dengan penegasan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal
10 ayat (3) berbunyi: 'Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masingmasing
hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di
hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi'. Pasal 11 (1) Sesaat
setelah dilangsungkan perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10
Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang
telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. (2) Akta
perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani
pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi
yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali
1 Mut'ah (pemberian berupa harta benda atau uang dari suami kepada istri yang dijatuhi talak. UU
Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengenal mut'ah, tetapi dimuat di dalam Pasal 41 huruf c dengan istilah
'biaya penghidupan bagi bekas istri' yang prinsipnya sama dengan mut'ah tersebut), nafkah iddah
(nafkah selama isteri dalam masa tunggu sejak saat dijatuhi talak hingga kedua suami istri tersebut
benar-benar resmi terputus tali perkawinannya/tiga kali suci lebih kurang 100 hari), biaya
pemeliharaan anak yang hak hadhanah (pemeliharaan) nya berada pada isteri.
4
nikah atau yang mewakilinya. (3) Dengan menandatangani akta perkawinan, maka
perkawinan telah tercatat secara resmi.
UU Nomor 23 Tahun 2006
Pasal 1 angka 17 'Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang
meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak,
pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status
kewarganegaraan'.
Pasal 1 angka 23 'Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat KUAKec,
adalah satuan kerja yang melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk
pada tingkat kecamatan bagi Penduduk yang beragama Islam'.
Pasal 34
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib
dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
(1) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatat Sipil
mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta
Perkawinan.
(2) Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing
diberikan kepada suami dan isteri.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penduduk yang
beragama Islam kepada KUAKec.
(4) Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi
Pelaksana2 dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan
perkawinan dilaksanakan.
Pasal 35
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:
a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
2 Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggungjawab dan
berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan (UU No 23/2006 Ps. 1
angka 7)
5
b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas
permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.
Pasal 36
Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan
dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.
Pasal 37 Pencatatan Perkawinan di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(4) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat
tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke
Indonesia.
Pasal-pasal Pidana: Calon mempelai yang melanggar ketentuan Pasal 10 ayat
(3) PP diancam dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu
lima ratus rupiah). Pegawai Pencatat yang melanggar Pasal 10 dan 11 PP diancam
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggitingginya
Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatur lebih
tegas lagi 'ancaman pidana' yang berkaitan dengan 'perkawinan'.
Pasal 90
(1) Setiap Penduduk dikenai sanksi administrative berupa denda apabila melampaui
batas waktu pelaporan Peristiwa Penting dalam hal:
b. perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) atau Ps 37 ayat
(4);
c. pembatalan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Ps 39 ayat (1);
d. perceraian sebagaimana dimaksud dalam Ps 40 ayat (1) atau Ps 41 ayat (4);
e. pembatalan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Ps 43 ayat (1);
f. kematian sebagaimana dimaksud dalam Ps 44 ayat (1) atau Ps 45 ayat (1);
g. pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Ps 47 ayat (2) atau Ps 48
ayat (4);
h. pengakuan anak sebagaimana dimaksud dalam Ps 49 ayat (1);
i. pengesahan anak sebagaimana dimaksud dalam Ps 50 ayat (1);
(2) Denda administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)
6
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan denda administrative sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Harifin A. Tumpa3 berkaitan dengan nikah yang tidak tercatat, dapat
dibedakan apakah suatu perbuatan topik tersebut4 mempunyai dua sisi yaitu apakah
gejala atau realita yang akan dibicarakan tersebut dilakukan orang tertentu karena
kenakalan atau ada iktikad buruk ataukah apakah gejala dan realita tersebut
merupakan gejala umum yang tumbuh dan berkembang karena ada faktor-faktor yang
sifatnya tidak bisa dihindari. Kalau gejala/realita tersebut muncul karena hanya
kenakalan atau ada iktikad tidak baik, misalnya orang kawin sirih karena tidak puas
dengan pasangannya atau tidak puas dengan apa yang dia punyai, maka kejadian
tersebut tidak bisa dibenturkan dengan kepastian hukum yang telah menentukan
dengan jelas aturan main dari suatu perbuatan hukum.
Tetapi kalau gejala/realita itu muncul karena ada faktor-faktor tertentu,
misalnya adanya keterpaksaan di luar kemampuan untuk dihindari, sehingga harus
menyimpang dari aturan hukum yang semestinya, maka hal tersebut tentu akan
menjadi pertimbangan dari hakim di dalam rangka mewujudkan keadilan.
Bagir Manan5 dalam forum yang sama mempertegas ketentuan Pasal 2 ayat
(2) UU. No 1 Th 1974 'Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan
yang berlaku'; hanya bersifat administratif. Menurut penulis statemen
beliau ini sejalan dengan isi UU No 23 Th 2006 tersebut di atas; pencatatan bukan
untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan, yang menentukan sahnya
perkawinan mutlak ditentukan oleh aturan agama, khususnya bagi umat Islam syari'at
perkawinan (Hukum Munakahat).
Beberapa orang dari DPRD Polewali Mandar sekitar bulan Maret 2011
datang ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengadukan hal yang menimpa
nasib sebagian kaum Muslimin disana (sebanyak 3936 pasangan suami istri) yang
teraniaya nasibnya akibat tidak memiliki bukti nikah: mengadu ke pengadilan dalam
kasus keluarga/rumah tangga tidak dilayani, meminta akte kelahiran untuk anak tidak
dilayani, menginap di hotel ditanya mana bukti nikahnya, akan berangkat ibadah haji
tidak dianggap bersama suami/istri dan lain sebagainya.
3 Ketua Mahlamah Agung Republik Indonesia Th 2009 s d sekarang.
4 Seminar Nasional dengan topik, Hukum Materiil Peradilan Agama –Subtopik Nikah Siri-
(Jakarta: Hotel RedTop, 2010).Pelenggara PPHIMM dan Mimbar Hukum, tgl 19 Februari 2010.
5 Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia priode Tahun 2001 s d 2008.
7
Demikian juga yang menjadi keprihatinan Konsulat Jenderal Republik
Indonesia di Negeri Sabah (Malaysia) 4316 pasangan suami istri masyarakat
Indonesia disana yang tidak memiliki bukti nikah, berdasarkan Surat Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 084/KMA/SK/V/2011, Tanggal
25 Mei 2011, untuk pertama kalinya Pengadilan Agama memperoleh izin bersidang di
luar negeri.
Diktum SK - KMA tersebut:
Pertama: Memberi ijin kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat ntuk melaksanakan
sidang pengesahan perkawinan (itsbat nikah) di kantor Perwakilan
Republik Indonesia bagi Warga Negara Indonesia yang berdomisili di luar
negeri;
Kedua: Sidang pengesahan perkawinan (itsbat nikah) sebagaimana tersebut dalam
diktum pertama dilaksanakan sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku;
Ketiga: Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan apabila
dikemudian hari terdapat kekeliruan akan diperbaiki sebagaimana
mestinya.
Pada bulan Juni 2011 PA Jakarta Pusat melakukan sidang keliling di Negeri Sabah
(Malaysia) tersebut. Sidang berlangsung secara marathon dari hari Senin s d Jumat
dua minggu berturut-turut, dari 640 permohonan untuk "Itsbat Nikah" ada 16
pasangan yang tidak hadir atau perkawinannya tidak dapat diisbatkan karena
bermasalah (melanggar ketentuan syarat rukun nikah menurut hokum Islam).
Kesimpulan dari uraian panjang lebar di atas antara lain:
1. Perkawinan orang Islam yang dilangsungkan sesuai ketentuan syarat rukun
Hukum Perkawinan Islam adalah sah;
2. Setiap pernikahan wajib menurut UU dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah setempat, kewajiban tersebut bersifat administratif;
3. Pernikahan yang tidak dicatat karena sesuatu alasan yang dapat dibenarkan
menurut hukum dapat diitsbatkan, kecuali bagi mereka yang berpoligami harus
menempuh prosedur poligami dahulu dan bila permohonan itsbat diajukan setelah
suami atau istri yang bersangkutan meninggal dunia, maka itsbat nikah diajukan
secara kontentius, ahli waris Pewaris (suami atau istri) menjadi pihak yang
digugat.. Sebaliknya perkawinan yang dilakukan secara sengaja melanggar UU
dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 90 UU Nomor 23 Tahun
8
2006 tentang Administrasi Kependudukan dan menjadi kewenangan peradilan
umum, kecuali UU menentukan lain.
IZIN KAWIN DAN PENOLAKAN OLEH PPN
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, dalam
hal calon mempelai belum berusia 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua,
kecuali bila salah seorang telah meninggal dunia atau cacat kehendak, maka izin
cukup dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan
kehendak (Pasal 6 ayat (1), (2), dan (3) UU No 1 h 1974).
Dari alinea di atas ada 2 (dua) asas hukum yang terkandung, yaitu:
1. Asas suka sama suka, dan
2. Asas partisipasi keluarga
Asas Suka sama Suka mengandung makna bahwa perkawinan hanya dapat
dilangsungkan bila kedua calon benar-benar bercita-cita mewujudkan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, tidak ada paksaan dari pihak manapun baik
orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat keamanan, dan lain lain.
Asas Partisipasi Keluarga mengandung makna bahwa perkawinan harus seizing orang
tua sesuai blanko yang telah disediakan oleh aparat Desa/Kelurahan setempat, setelah
blanko tersebut diisi oleh Kepala Desa/Lurah kemudian dibacakan isinya, bila orang
tua tersebut setuju dengan isi Pernyataan Memberi Izin kepada anaknya untuk
menikah, maka orang tua calon mempelai tersebut membubuhkan tanda tangan pada
surat pernyataan tersebut, buka nikah diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua –
yang telah mendidik dan membesarkannya. Bila orang tua sudah tidak ada lagi, maka
izin dimaksud diperoleh dari wali.
Kata 'Wali' bukan yang dimaksud wali nikah tetapi wali pengampu; bila wali tidak
ada maka izin dari orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis lurus ke atas.
Perkara 'Izin Kawin' tidak berkaitan dengan wali nikah, tetapi murni dalam
hal penegakan asas partisipasi keluarga tersebut. Pasal 6 ayat (5) menyatakan:'Daalam
hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan
(4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hokum tempat tinggal orang yang akan
9
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut memberi izin setelah lebih
dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
Pasal 6 ayat (6) berbunyi: "Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal
ini berlaku sepanjang hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain".
Sejarah lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penuh
krusial bahkan hampir terjadi pertumpahan darah; "Pemuda-pemuda Islam´melakukan
demonstrasi besar-besaran ke Gedung DPR-RI yang sedang membahas RUU tentang
Perkawinan tersebut, karena draft semula persis isi pasal-pasal dalam KUHPdt (BW).
Demo tersebut membuahkan hasil meskipun tidak maksimal, sehingga pasal-pasal
yang mendiskreditkan agama diluruskan, seperti sahnya perkawinan, tujuan
perkawinan dan beberapa hal lagi. Akan tetapi aroma hukum Barat tetap saja
dominant, contohnya asas suka sama suka adalah mengadopsi Ps 28 KUHPdt, asas
kematangan berumah tangga mengadopsi Ps. 29, asas partisipasi keluarga yang dalam
pembahasan sekarang mengadopsi Ps. 35. dst
Izin kawin seperti diatur dalam UU murni meniru BW, oleh karenanya
hakim pada peradilan agama cukup mempedomani ketentuan Ps 6 ayat (6) tersebut di
atas, karena pasal tersebut tidak diatur dalam Kitab Munakahat (Hukum Perkawinan
Islam), bila KHI mengambil alih UU yang identik dengan BW hal itu dikarenakan
Tim Perumus Hukum Perkawinan KHI adalah Yahya Harahap, cs – yang nota bene
tidak menguasai syari'at Islam, lihat Buku Peradilan dan Problematikanya dari Penulis
yang telah dibagi-bagikan ke seluruh PTA se Indonesia dengan judul Sub Bab "Halhal
yang kontroversial tentang KHI" halaman 90 s d 104.
Tentang blanko 'Penolakan' KUAKec. hal tersebut berkaitan dengan 'wali
nikah', sekilas mirip persoalan izin kawin dengan wali hakim, bedanya dalam hal izin
kawin berdasarkan ketentuan UU sedangkan wali hakim berdasarkan Peraturan
Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987, tanggal 28 Oktober 1987, dalam konsideran
menimbang huruf a dinyatakan: bahwa sahnya nikah menurut agama Islam ditentukan
antara lain dengan adanya Wali Nikah, karena itu apabila Wali Nasab tidak ada, atau
mafqud (tidak diketahui di mana berada) atau berhalangan atau tidak memenuhi
syarat atau adlal (menolak), maka Wali Nikahnya adalah Wali Hakim. Pasal 2 ayat (2)
PMA berbunyi: Untuk menyatakan adlalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal
ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
calon mempelai wanita. Ayat (3) menyatakan: Pengadilan Agama memeriksa dan
10
menetapkan adlalnya Wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai
wanita dengan mengahdirkan wali calon mempelai wanita.
Mencermati keadaan di atas, jelas peradilan agama atau hakim pada
peradilan agama selama ini, telah keliru mencermati ketentuan UU dan PMA
berkaitan dengan kewenangan hakim dalam hal izin kawin dan wali adlal.
Kesimpulan penulis:
1. Hakim pada peradilan agama dalam hal penanganan perkara 'izin kawin',
hendaklah berpedoman pada ketentuan Pasal 6 ayat (6) UU. No. 1 Th. 1974;
2. Wali adlal, sesuai dengan asas hakim tidak boleh menolak perkara dengan alas
an hukum tidak atau belum ada, maka demi penegakan hukum dan keadilan
perkara wali adlal wajib diselesai dengan acara kontensius – lihat Buku
Peradilan dan Problematikanya tersebut di atas halaman 31 s d 33 -
PENGUSAAN ANAK (Hadhanah)
Fenomena perceraian di Indonesia, dari tahun ke tahun memperlihatkan tren
meningkat. Hal ini perlu mendapatkan perhatian oleh pihak terkait, karena dampak
perceraian cukup serius, salah satunya adalah dampak yang dialami anak. Anaklah
yang menjadi korban langsung akibat perceraian orang tuanya, sehingga pihak terkait
perlu memerhatikan nasib anak korban perceraian, sehingga anak tidak semakin
terjerembab sebagai korban.
Oleh karena itu, hak-hak keperdataan anak jangan sampai diabaikan,
sehingga diperlukan upaya-upaya untuk memberikan jaminan bagi terpeliharannya
hak-hak keperdataan anak. Lembaga peradilan dalam hal ini mempunyai peranan
penting untuk menjamin hak-hak keperdataan anak lewat putusan-putusannya. Hakim
yang memeriksa perkara perceraian misalnya dapat mempertimbangkan dalam
putusannya untuk mengatur tentang hak-hak anak yang orang tuanya melakukan
perceraian.6
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari
janin dalam kandungan, sampai anak berumur 18 tahun.7 Bertitik tolak dari konsepsi
perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, UU Perlindungan Anak
6 Muchsin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pasca Perceraian Orang Tua, (Jakarta,
PP>IKAHI, 2010), Majalah Varia Peradilan No. 301, Desember 2010, h. 5.
7 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
11
meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas
sebagai berikut, 1) Nondiskriminatif; 2) Kepentingan yang terbaik bagi anak; 3) Hak
untuk hidup, pendapat anak.kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan 4)
Penghargaan
Adapun tanggungjawab dan kewajiban orang tua terhadap anak adalah meliputi:
a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b)
Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c)
Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.8 Untuk melangsungkan
perkawinan, seorang anak yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun harus
mendapatn izin dari kedua orang tuanya.9 Kedua orang tua yang dimaksud bukan
hanya telah mendapat izin dari Bapaknya saja atau ibunya saja, akan tetapi baik bapak
maupun ibunya sama-sama mengizinkan. Dan izin yang diberikan kepada anak yang
mau kawin itu harus telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun bagi pihak pria
dan 16 (enam belas) tahun bagi pihak wanita. Apabila kurang dari usia itu, meskipun
kedua orang tuanya mengizinkan, perkawinan belum bisa dilangsungkan sebelum
diajukan dispensasi kawin melalui pengadilan agama bagi calon mempelai beragama
Islam dan pengadilan negeri bagi selainnya di wilayah di mana perkawinan itu mau
dilangsungkan.10
Apabila anak di bawah usia 21 tahun baik pria maupun wanita hanya mendapat
ijin melangsungkan pernikahan dari pihak bapak atau ibunya saja, tidak kedua bapak
ibu bersama-sama mengizinkan, maka perkawinan belum bisa dilangsungkan. Dalam
hal ini, untuk menghilangkan kebuntuan, maka harus diajukan pula melalui
pengadilan yang berwenang untuk mendapatkan penetapan. Begitu juga, apabila anak
di bawah usia 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi
wanita terhalang perkawinannya sebelum mendapat penetapan dispensasi perkawinan
dari pengadilan yang berwenang harus diikuti pula ijin dari kedua orang tuanya.
Apabila kedua orang tuanya atau salah satu dari orang tuanya tidak mengizinkan,
maka pengadilan tidak serta merta mengeluarkan penetapan dispensasi kawin kepada
anak tersebut.
8 Perkawinan hanya diizinkan oleh kedua orang tuanya jika pihak pria telah berusia 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 (1) UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
9 Baca Pasal 6 (2) UU No. 1 Tahun 1974.
10 Baca Pasal 7 (2) UU No. 1 Tahun 1974.
12
Sedemikian pentingnya perlindungan terhadap anak, maka apabila dalam hal
terjadi perceraian maka pengasuhan dan pemeliharaan anak dapat disepakati oleh
orang tuanya, siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengasuh dan memelihara
anak. Jika terjadi perselisihan di mana masing-masing pihak menuntut pengasuhan
dan pemeliharaan anak maka permohonan dapat diajukan bersama dengan gugatan
cerai atau diajukan secara terpisah. Jika diajukan secara terpisah, sesudah adanya
perceraian maka:
1) Untuk yang beragama Islam permohonan diajukan ke pengadilan agama tempat
istri tinggal. Kompilasi Hukum Islam menyatakan anak yang belum berumur 12
(dua belas) tahun atau anak yang belum mumayyiz, pemeliharaannya dapat jatuh
kepada ibu. Jika anak sudah berumur 12 (dua belas) tahun ke atas maka
diserahkan kepada anak apakah akan ikut ibu atau ayahnya;11
2) Untuk yang beragama selain Islam, permohonan diajukan ke pengadilan negeri
tempat termohon tinggal. Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan
hak pengasuhan dan pemeliharaan kepada pengadilan negeri. Sedangkan
termohon adalah pihak yang dituntut untuk memenuhi permohonan dari pemohon.
Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena
suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka
kewajiban dan tanggung jawab atas dapat beralih kepada:12
1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat
mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan
tentang pencabutan kuasa asuh orang tua, atau melakukan tindakan pengawasan
apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu;
2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat
ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh orang
tua dapat juga diajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga yang
mempunyai kewenangan untuk itu;
3) Penetapan pengadilan dapat menunjuk perseorangan atau lembaga
pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi yang bersangkutan, yaitu:
a) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan harus seagama dengan agama
yang dianut anak yang akan diasuhnya; dan
b) Dalam hal lembaga tersebut berlandaskan agama maka anak yang diasuh harus
11 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 156 huruf (a dan b).
12 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 156 huruf c.
13
seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan.
Dalam hal lembaga tersebut tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan
pengasuhan anak harus memerhatikan agama yang dianut oleh anak yang
bersangkutan. Pengasuhan anak dapat dilakukan di dalam maupun di luar
panti.
KEWAJIBAN SUAMI MEMBERI BIAYA PENGHIDUPAN KEPADA BEKAS
ISTRI (MUT'AH).
Eksekusi pembayaran sejumlah uang yang terdiri dari: mut'ah, nafkah iddah,
dan nafkah anak bardasarkan putusan hakim, baik atas dasar tuntutan istri dalam
gugatan rekonvensinya atau atas dasar ex officio hakim dalam perkara izin
mengikrarkan talak, apakah pemberian izin ikrar talak suami berjalan dengan
sendirinya terlepas dari perintah wajib membayar sejumlah uang tersebut, ataukah
membayar kewajiban terlebih dahulu baru hak untuk menjatuhkan talak diberikan ?.
A. Djazuli menguraikan sebagai berikut: "Dalam kehidupan ini, sering kita
dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang tidak mudah. Pilihan-pilihan itu dihadapkan
kepada kita, baik dalam masalah-masalah yang bersifat individual, kehidupan
keluarga, maupun masyarakat, sering juga dihadapi oleh para pemimpin Negara
bahkan pemimpin dunia.
Pilihan mana yang akan diambil mengacu kepada nilai-nilai yang dianut oleh
yang bersangkutan tentang keyakinan akan kebenaran, kebaikan, kemashlahatan, dan
hati nuraninya, yang tersimpul dalam kearifannya menentukan pilihan. Kesalahan
dalam mengambil pilihan mengandung akibat-akibat tertentu yang merugikan bagi
kehidupannya. Sebaliknya, ketepatan dalam menentukan pilihan akan mem
bawa kemanfaatan, kalau tidak pada waktu sekarang, manfaatnya akan tiba pada masa
yang akan datang.
Oleh karena manusia itu terikat oleh ruang dan waktu, maka pilihannya pun
terikat oleh ruang dan waktu. Dalam hal ini, pilihan-pilihan tersebut mengedepankan
skala prioritas; mana yang harus didahulukan dan mana yang harus diakhirkan; mana
yang lebih penting dan mana yang tidak begitu mendesak; mana yang menyangkut
pribadi atau keluarga dan mana yang menyangkut orang banyak.
Makin besar ruang lingkup masalah yang dihadapi, maka makin besar pula
tuntutan kearifan dalam menentukan pilihan dan makin besar risiko yang dihadapinya,
14
apabila salah dalam menentukan pilhannya, serta makin besar manfaat yang diraih
apabila tepat dalam pilihannya.
Pilihan-pilihan baru bisa dilaksanakan apabila tersedia dua atau lebih
alternative yang berujung kepada keputusan yang diambil dengan memilih salah
satunya. Tetapi ada juga manusia yang dihadapkan kepada satu-satunya pilihan yaitu
dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, yaitu suatu kondisi yang kehendak bebasnya
sudah tidak ada. Dalam hal ini, yang harus diusahakan adalah bagaimana mengurangi
atau menghilangkan keadaan terpaksa atau dipaksa tadi.
Kemampuan memilih secara tepat juga berarti mampu menempatkan sesuatu
pada tempatnya. Inilah ciri keadilan menurut para ulama".13
Berdasar kaidah fikih:
دفع الضرر أولى مه جلة الىفع
"Menolak mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat"
Melalaikan memberi nafkah mendatangkan mudharat (kerusakan, kebinasaan),
oleh karenanya pemberian nafkah termasuk mut'ah lebih didahulukan dari pada
memberi izin mengikrarkan talak.
PENGANGKATAN ANAK
Pengangkatan Anak Dilakukan Untuk Kepentingan Terbaik Bagi Anak.14
Beberapa bulan terakhir ini, kerap diberitakan tentang ―penculikan anak‖ dan
―perdagangan bayi‖ oleh Media Cetak dan Televisi sehingga membuat kecemasan dan
ketakutan yang meluas di tengah-tengah masyarakat. Ada anak yang diculik dari
orang tuanya, kemudian dijadikan ―anak jalanan‖, beberapa diantaranya dapat
ditemukan kembali oleh orang tuanya dalam keadaan hidup, tetapi ada pula yang
ditemukan dalam keadaan telah tewas.
Modus lain dilakukan oleh oknum dengan membawa kedok ―Pengurus
Yayasan‖ atau sebagai penolong untuk melakukan pengangkatan anak, tetapi
13 Djazuli, A., Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. I,
h. 163-164.
14 Sutadi Mariana, Op. Cit., h.37-38..
15
sesungguhnya mereka adalah pelaku kriminal yang melakukan penjualan bayi dan
anak kepada orang asing. Modus yang mereka lakukan adalah dengan mengajukan
permohonan pengangkatan anak antar warga Negara (Intercountry adoption) tanpa
melalui prosedur yang sah. Padahal ketentuan hukum perlindungan anak, Pasal 39
UU. No. 23 Tahun 2002 menyatakan ―Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan
untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, sedangkan pengangkatan anak oleh warga
Negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Para hakim memiliki tanggung jawab besar dalam kasus-kasus perlindungan
anak dan kekerasan dalam rumah tangga (KDR). Oleh karena itu, para hakim sudah
seharusnya memahami dan menerapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak. Anak dalam undang-undang tersebut didefinisikan sebagai
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pasal 83 UU.No.23 Tahun 2002 menyatakan ―Setiap orang yang memperdagangkan,
menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana denga
pidana penjara paling lama 15 Tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling
banyak Rp.300.000.000,- dan paling sedikit Rp.60.000.000,-. Pengertian anak,
menurut Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, adalah orang
yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai
umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Mempertegas batasan umur anak menjadi
sangat penting dalam konteks penentuan batas umum anak nakal yang dapat diajukan
ke Pengadilan Anak.
Kasus yang menarik sehubungan dengan Stbl 1937 No. 116 adalah kasus
pembagian warisan yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Bandung. Pasalnya
seorang meninggal dunia, tidak mempunyai anak kandung tetapi mempunyai anak
angkat dan beberapa kemenakan. Anak angkat itu menuntut seluruh harta
penginggalan bapak angkatnya. Ia mengakui sebagai satu satunya ahli waris.
Pengadilan Negeri Bandung setelah melalui pemeriksaan perkara, pada akhirnya
mengabulkan permintaan tersebut dan memberikan harta peninggalan itu kepadanya.
Berhasillah anak angkat itu menguasai seluruh harta peninggalan sekaligus
mengesampingkan beberapa kemenakan pewaris. Pada tahun 1937 tepatnya tanggal
16 Mei 1937 berdirilah organisasi perhimpunan penghulu dan pegawainya di Solo.
Organisasi ini menyatakan keberatannnya atas dipindahkannya masalah waris dari
Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri dengan alasan bahwa masalah kewarisan
Islam tidak bisa diputuskan oleh hukum Adat yang berubah ubah.
16
Putusan pengadilan negeri Bandung itu jelas bertentangan dengan hukum
Islam dan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) juga memprotes Stbl. 1937 Nomor
116 karena dianggap telah menggoyahkan kedudukan hukum Islam dalam masyarakat
Indonesia. Dalam muktamarnya di Surabaya tahun 1938, MIAI menegaskan bahwa
mempersempit kaum Muslimin dengan menjalankan hukum agamanya merupakan
pemerkosaan terhadap agama.15
Sebelum Allah SWT menegaskan permasalahan anak angkat kepada
Rasulullah SAW, beliau diperintahkan agar berpaling dari kaum musyrikin, tidak
menghiraukan gangguan mereka sambil menantikan putusan Allah. Hal tersebut
disampaikan setelah menyatakan bahwa Al-Qurân adalah wahyu Ilahi yang
bersumber dari Tuhan pemilik semesta alam, dan agar beliau konsisten, tidak
meragukan wahyu Allah. Bertakwalah kepada Allah, tidak patuh kepada ajakan kaum
kafir dan munafik, serta mengikuti secara sungguh-sungguh wahyu yang diturunkan
Allah itu.16 Kemudian Allah menurunkan hukum yang tegas tentang anak angkat yang
sudah dikenal di kalangan bangsa Arab Jahiliyah, dengan sebutan “al-tabanni‖. Attabanni
sama dengan adopsi, dan anak yang diadopsi diperlakukan persis sama
dengan anak kandung.
Ketegasan hukum anak angkat dalam Islam atas dasar ayat al-Qurân, berupa
'larangan' memberlakukan anak angkat seperti anak kandung dilihat dari sudut
pandang teori kedaulatan Tuhan, dalam al-Qurân dimuat beberapa ayat yang
memerintahkan orang Islam untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya,17 tidak
dibenarkan untuk mengambil pilihan lain kalau ternyata Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan hukum yang pasti dan jelas,18 mengambil pilihan hukum lain di mana
Allah dan Rasul-Nya telah memberikan ketentuan hukum dianggap zhalim, kafir, atau
fasiq,19 tanyakan pada hati nuranimu, apakah tidak termasuk umat Muhammad yang
melecehkan al-Qurân.20
Ayat yang menghapuskan kedudukan anak angkat seperti anak sendiri
dinyatakan dalam QS al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi:
15 Ibid h. 17-18.
16 Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati. 2002), Vol. 11, h. 215-216.
17 QS. [4]: 59, S. [24]: 51, S. [59]: 7, S. [4]: 80. .
18 QS. [33]: 36, S. [3]: 32, S. [24]: 47, 48..
19 QS. [5]: 44, 45, dan 47.
20 QS. [25]: 30.
17
              
             
   .           
            
      
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan
(yang benar) (4);
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapakbapak
mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudarasaudaramu
seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja
oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat tersebut turun berkenaan dengan kasus Zaid ibn Haritsah yang diadopsi
oleh Nabi Muhammad SAW, Zaid yang meninggalkan ayahnya dan dipelihara oleh
kakeknya, satu ketika diculik oleh segerombolan berkuda dari suku Tihamah. Anak
muda itu dibawa ke Mekkah dan dibeli oleh Hakim ibn Hizam Ibn Khuwailid yang
memberikannya kepada saudara perempuan ayahnya yakni Khadijah binti Khuwailid.
Wanita mulia yang kemudian menjadi istri Nabi SAW itu, menghadiahkan Zaid
kepada Nabi SAW, Zaid tinggal bersama beliau sekian lama. Di samping itu, usaha
pencarian oleh kakeknya berhasil mengetahui bahwa Zaid berada di Mekah, maka
mereka menemui Nabi SAW dan bersedia membayar tebusan bila beliau mengizinkan
Zaid r.a. kembali kepada keluarganya. Nabi SAW menawarkan kepada mereka jalan
yang lebih baik, yakni beliau bersedia mengizinkan Zaid kembali kepada
keluarganya—tanpa tebusan—bila itu yang menjadi pilihan Zaid, tetapi di sisi lain
para keluarga diminta untuk membiarkan Zaid tetap bersama Beliau, bila itu yang
menjadi pilihan Zaid. Tawaran yang sangat simpatik ini diterima semua pihak.
Ternyata Zaid r.a. enggan bergabung dengan keluarganya dan memilih hidup bersama
Nabi SAW. Nah, ketika itulah Beliau mengumumkan kepada masyarakat Mekkah,
18
bahwa Zaid adalah putra beliau, dan sejak itu pula ia dikenal dengan nama Zaid ibn
Muhammad.21
Ayat di atas, membatalkan adopsi Nabi itu, dan semua adopsi yang dilakukan
masyarakat muslim. Dengan turunnya ayat ini, Nabi Muhammad SAW
memperingatkan kepada semua orang agar tidak mengaku mempunyai garis
keturunan dengan satu pihak padahal hakikatnya tidak demikian.
Hal demikian dinyatakan dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
22
Pengakuan anak angkat seperti anak kandung sendiri adalah kebiasaan pada
masyarakat Jahiliyah dan dengan turunnya ayat Allah di atas maka dalam Islam hal
tersebut telah dihapus.
23
Lebih lanjut al-Marâghî menerangkan di dalam kitab tafsirnya:
24
21 Ibid., h. 221-222.
22 Bukhari, Al-, Kutub al-Tis'ah Shahih Bukhari, 6269 ―Siapa yang mengakui seseorang yang
bukan bapaknya sebagai bapaknya, maka surga haram baginya‖.
23 baca juga Quraish Shihab, Tafsir al- Shäbûny, Muhammad Ali ash-, Op.cit., Vol. 2, h. 249,
Misbah, vol. 11, h. 222.
24 ، تفسير المراغي ، ج 21 , Prog. Computer. عارض لكتة الالكترووية Maraghi, Al-, Tafsir al-Maraghi,
. ص: 126
19
Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradlawi berpandangan bahwa
mengangkat anak dan menisbahkan nasab pada bapak angkat adalah haram. Apalagi
apabila pembagian warisan bagi anak angkat disamakan dengan anak sendiri.25
Maksudnya adalah mengaku-ngaku bapak yang bukan bapaknya. Sedangkan
memelihara anak orang lain atau anak yatim tentu saja perbuatan mulia. Seluruh
ulama tafsir dan ulama fikih sependapat bahwa anak angkat dibolehkan sebatas
pemeliharaan, pengayoman, dan pendidikan, kecuali dilarang memberi status sebagai
layaknya anak kandung. Sedangkan dalam konteks Indonesia, pengaruh hukum Adat
lebih kental, yakni meskipun masyarakat mayoritas beragama Islam, tetapi dalam
masalah anak angkat kebanyakan lebih memilih adat dengan meninggalkan ketentuan
nash-nash syara’ di atas.
PENUTUP
Mudah-mudahan poin-poin permasalahan yang penulis pilih dari sekian
banyak permasalahan hukum perkawinan dalam praktek di Pengadilan Agama di atas
bermanfaat hendaknya, hanya Allah Yang Maha Benar, bila penulis salah mohon
ampun kepada Nya, dan kritik serta masukan dari peserta diskusi kami haturkan
terima-kasih.
Allah Ta'ala dipenghujung usia Rasulullah S.A.W. menurunkan wahyu:
           
3. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu.
Sebelum beliau s.a.w. meninggal dunia sempat meninggalkan wasiat
untuk umatnya:
ح: تركت فيكم أمريه له تضلّىا أتدا ان تمسكتم تهما كتاب الله و سىّة رسىله
Aِِِku tinggalkan untuk kalian dua macam pedoman/perisai hidup, yang
apabila kalian gunakan keduanya (sebagai petunjuk) niscaya kalian tidak akan pernah
tersesat/salah dalam perjalanan hidup, yaitu: Kitab Allah (Al-Qurān) dan Sunnah
Rasul Nya (Hadits).
Gajah mati meninggalkan gading;
Harimau mati meninggalkan belang;
25 Qaradlawi, Yusuf al, al Halal Wal Haram fil Islam, (Beirut: al Maktab al Islami, 1994), h.
206-209.
20
Manusia mati meninggalkan nama.
Agar nama kita tetap dikenang oleh generasi sesudah kita, marilah kita
menjadi 'Hakim yang Profesional' yang setiap detik nafas kita selalu berorientasi pada
tugas pokok 'Penegak Hukum dan Keadilan'.
Hanya kepada Allah kita berserah diri.
Jakarta 8 Ramadhan 1432 H
8 Agustus 2011 M

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda